Upacara Berkabung Orang Biak Numfor - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Upacara Berkabung Orang Biak Numfor

Di tengah bangsa-bangsa yang menganggap pemujaan nenek-moyang sebagai hal yang sangat penting, seperti pada orang Biak dan Numfor, peristiwa penyakit dan kematian memperoleh perhatian yang besar, tetapi terutama kematian dan orang-orang mati memperoleh perhatian penuh. Ini ternyata juga dari upacara adat yang ada. Besarnya upacara ini tergantung pada umur dan status sosial dari si mati. Tetapi pada setiap peristiwa kematian berlaku bahwa pesta-pesta dan upacara keagamaan dan sebagainya yang lain dalam lingkungan kampung itu dihentikan.

Kankanes kayob atau munabai (ratapan untuk orang mati). A-bai berarti peti mati, dahulu berupa perahu tua atau batang pohon, tetapi belakangan berupa peti. Langsung sesudah saat si mati menutup mata untuk selama-lamanya, orang boleh menembakkan bedil tiga kali. Dan langsung sesudah itu mulailah orang menyanyikan ratapan untuk orang mati itu, tetapi orang tidak menari. Dan orang menangis ini tidak sembarangan. Upacara ini disebut "kankanes manander" (manander adalah jangkrik besar yang menjelang datangnya malam berbunyi dengan sangat tajam dan menembus pendengaran, seperti gergaji lingkaran).

Ratapan untuk orang mati itu terdengar lantang dan bernada sedih. Orang meratap tentang si mati: tentang kebaikannya, tentang klannya, tentang harta miliknya, dan tentang kecakapan-kecakapannya. Karena itu ratapan itu mengambil bentuk beyuser (lagu yang mengisahkan). Setiap kali sanak saudara yang dari jauh datang, orang mengulang lagi apa yang sudah "dinyanyikan" itu. Beberapa orang teman baik menyanyi solo sebagai pembukaan. Kadang-kadang mereka bersumpah tak akan lagi makan buah atau makanan tertentu, masakan atau buah kesayangan almarhum. Sesudah nyanyian solo (seperti waktu menyanyikan beyuser) semuanya ikut menyanyi dan menegaskan atau mengulang apa yang telah dinyanyikan sebelumnya, tetapi dengan memperluasnya. Nada-nada mengalun dalam nyanyian sahut-sahutan yang mencengkam, dan lingkungan di sekitar ikut menggemakannya.

Farbabei (menyematkan atau menggantungkan tanda mata). Halnya mengenai benda-benda yang merupakan tanda mata dari si mati, yang dapat berupa alat-alat, tapi dapat juga bagian-bagian dari cawat atau sarong dan barang-barang sehari-hari lainnya yang orang gantungkan (farbabei). Dalam upacara ini kita dapat membedakan tiga tingkat, yang berlainan menurut jumlah orang yang turut melaksanakannya. Jumlah ini tergantung dari umur si mati. Yang ikut ialah:

1. Dalam hal kematian seorang-anak umur 0-10 tahun orang tuanya, saudara-saudara lelakinya dan saudara-saudara perempuannya.

2. Kalau yang meninggal seseorang yang berumur antara 10-15 tahun, maka yang menyelenggarakan perkabungan adalah seluruh klan ayah dan ibu yang dapat dihubungi.

3. Kalau yang meninggal adalah seorang dewasa yang terkemuka, maka seluruh kampung ikut serta dalam perkabungan, dan kalau yang meninggal itu orang yang tersohor, maka sejumlah orang dari kampung-kampung yang lain ikut serta pula. 

Dalam penyelenggaraan farbabei itu orang menyanyikan ratapan perkabungan, dan hal ini terjadi dalam semua kegiatan yang ada hubungannya dengan almarhum.

Para wanita mengenakan tutup kepala dan bahu yang di-buat dari tikar atau kulit kayu, sedang orang-orang lelaki mencukur gundul atau memotong pendek rambutnya. Cukur gundul itu berlaku terutama untuk si duda. Oleh karena itu orang tidak mau mengabulkan keinginan para zendeling yang mula-mula mendesak supaya orang memotong "rambut yang liar dan tak teratur" itu. Sebab hal itu bisa berarti magi hitam, seolah-olah orang mengharapkan kematian seorang anggota keluarga.

Panamomes romowi (penghancuran warisan). Kalau yang meninggal dunia adalah orang yang terkemuka, maka orang akan menghancurkan sebagian dari harta miliknya, kadang-kadang juga barang-barang yang berharga: pifing-piring dari porselin atau tembikar, perahu-perahu, genderang-genderang, dan orang akan menebang pula beberapa pohon buah (pohon kelapa, rumpun pisang dan sebagainya). Kadang pula orang membiarkan pohon-pohon itu tumbuh, tetapi buahnya tak dipetik beberapa waktu lamanya. Dalam masa itu buah-buahan itu berfaedah bagi jiwa si mati, dan barang-barang yang dihancurkan pun menyertainya di alam mati. 

Di atas kubur pun ditaruh pecahan-pecahan dari barang-barang tembikar dan barang-barang beling yang sudah dihancurkan itu. Ada pula alat-alat sehari-hari yang tidak dihancurkan, tetapi yang tidak pernah lagi disinggung orang. Kata "romowi" berarti: barang pusaka, tetapi berti juga "terkutuk", maka semua yang dihancurkan itu disebut dengan kata itu pula. Sebuah barang warisan, sebuah genderang yang berharga atau sebuah perahu misalnya dinamakan demikian juga; orang tak akan dapat menjual atau melepaskannya.

Kita boleh memandang kedua hal itu sebagai sejajar, yakni kematian, yang adalah penghancuran tubuh manusia, sedangkan kedua jiwanya dan barang-barang tetap hidup, dan penghancuran barang-barang itu, yang ternyata mempunyai jiwa juga dan karena itu pada hakekatnya tetap melayani almarhum. Kepercayaan dan praktek serupa itu kita temui juga di daerah Kepala Burung. Di sana kain cita yang dinamakan kain timur itu disobek-sobek dan digantungkan dekat kuburan, atau gua tempat si mati diletakkan (kadang-kadang juga kain itu dipakai sebagai pembungkus mayat si mati tanpa disobek, tapi tentu saja akan hancur bersama sisa-sisa tubuh itu).

Sesudah "panamomes": menghancurkan barang-barang tersebut, maka orang-orang yang berkabung pun bersama-sama pergi makan. Orang menamakan acara ini nanwark: mengenang atau berjaga sambil makan, dan acara ini tetap ada hubungannya dengan si mati.

S'pangun bemarya (orang membungkus atau mengemasi mayat). Sekarang orang menggunakan peti, dan sebelumnya apa yang dinamakan abai: kano atau batang pohon, tetapi pada zaman dahulu orang membungkus mayat itu dengan tikar. Untuk itu dipakai empat lapisan tikar. Yang paling dalam, yaitu yang langsung membungkus tubuh itu, terdiri atas selembar tikar pandan dari jenis yang terbaik, yang diberi hiasan-hiasan yang berseni. Tikar paling luar putih warnanya. Orang terbiasa melipatkan lutut mayat itu dan mengikatnya dengan erat. Orang mengatakan bahwa ini untuk mencegah si mati menendang para anggota klannya untuk dibawanya pula ke alam maut. 

Mata si mati pun ditutup, agar si mati tak dapat lagi melihat orang-orang yang masih hidup. Kalau ia masih dapat melihat mereka, maka ia akan menatap mereka dengan pandangannya, memanggilnya dan membawanya ke dunia bawah. Kalau yang meninggal itu adalah seorang wanita, maka anak-anak dari saudara perempuannya dan dari saudara lelakinya (jadi para kemenakan, lelaki dan perempuan) wajib untuk memberikan sarong, pinang dan tembakau. Sebagian daripadanya agaknya dahulu dibungkuskan ke mayat.

Sumber: Buku Ajaib di Mata Kita, Jilid 1, 1981

Post a Comment for "Upacara Berkabung Orang Biak Numfor"