SPAS ADAF: UPACARA MENCABUT BENDERA - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SPAS ADAF: UPACARA MENCABUT BENDERA

   

S'pas adaf, yaitu mencabut bendera yang telah ditancapkan ke tanah kuburan. 2. Melepaskan barang kenang-kenangan (setidak-tidaknya para wanita dan anak-anak). 3. Membuka semua robesaser (tempat-tempat yang bisa diisi sesuatu) dan membagikannya kepada para peserta. Untuk orang-orang lelaki yang terpenting adalah mandi, kemudian disusul oleh para wanita, tetapi secara terpisah. Oleh karena upacara ini adalah upacara yang berlangsung panjang lebar dan suasana perkabungan berubah menjadi gembira, maka upacara ini akan dibicarakan terpisah.

Masasi merbak (mencuci bersih perkabungan). (Dari informan J. Rumbruren sekitar tahun 1928). Dalam upacara ini orang mandi pada hari yang terakhir (hari perhitungan besar).  Si duda dan sanak saudaranya yang lelaki. Orang-orang lelaki pergi dengan sebuah perahu ke suatu tempat yang cukup jauhnya. Di waktu berangkat, orang-orang itu mendayung secepat-cepatnya sampai ke tempat untuk mandi. Di situ mereka melompat ke laut, berenang, ketawa dan bermain. Kemudian mereka duduk menanti di perahu sampai tubuh mereka kering, dan sesudah itu mereka makan, merokok dan mengunyah pinang.

Barang-barang kenang-kenangan mereka lepaskan dari kaki dan tangannya, dan mereka membuangnya semuanya. Si duda yang selama masa berkabung itu mengenakan cawat hitam, kini menggantikan cawat itu dengan yang berwarna putih atau merah, dan ia mulai merawat rambutnya, dan sesudah itu menggosok badannya dengan minyak. Lalu mereka kembali pulang, menghias perahu (dan dirinya) dengan daun-daunan berwarna, dan setelah itu mereka melarikan perahunya menempuh ombak dengan pukulan dayung cepat yang namanya fadi. Sementara itu mereka menyanyi dengan sekuat-kuatnya.

Si janda dan teman-teman perempuannya serta sanak saudaranya. Mereka menanti sampai pulangnya orang-orang lelaki dan kemudian mereka pergi mandi juga. Seorang janda mandi dengan cara yang khusus, yang namanya "d'aber mando", yaitu berpegangan pada sepotong kayu hanyutan. Dia lakukan itu bersama dua atau tiga orang janda lain, dan mereka meniru orang mendayung dengan menggunakan kedua tangan sebagai dayung. Dia tak boleh menggunakan perahu atau pun dayung yang sebenarnya, karena kalau demikian ia akan membawa sanak saudaranya menyambut maut. Ila pun harus mengganti sarung perkabungan yang lama dengan yang baru. 

Kemudian sesudah mandi ia pulang untuk menyiapkan makanan dan mulai mengerjakan lagi pekerjaan sehari-hari. Ila harus meletakkan kuali besar di atas api dengan dibantu oleh seorang dari antara sanak saudaranya, dan sanak saudara itu membungkus tangannya, karena takut akan ditulari perkabungan "merbak" itu. Perkabungan atau merbak itu akan diusir menjelang malam. Mula-mula di rumah orang yang meninggal itu orang menimbulkan bunyi hingar-bingar sebesar mungkin, kemudian rumah-rumah lain ikut pula membuat bunyi itu, hingga dari semua rumah kedengaran bunyi yang memekakkan telinga, karena di rumah-rumah itu orang memukul-mukul kaleng, dinding dan apa saja yang dapat menimbulkan bunyi hingar-bingar itu. Sementara itu penduduk berteriak sekuat-kuatnya: Enyah kamu, enyah, enyah. Pergi kamu ke tanah lain, tinggal di sana bersama orang yang diam di sana, dan biarkan mereka memiliki kamu sebagai warisan abadi, sebagai romowi (barang berharga).

(Semua ini menyangkut "rur" si mati, yaitu jiwa yang telah diiringkan orang ke kerajaan maut. Nin (bayangan), yaitu si jiwa yang kedua mendapat perlakuan yang samasekali lain dan bertentangan dengan itu, seperti yang akan kita lihat nanti). Sesudah masa perkabungan lewat, upacara-upacara yang lain dapat kembali diadakan, para duda dan janda dapat kawin kembali. Oleh karena para janda dengan anak-anak tinggal di rumah atau di pekarangan sanak saudara dari suaminya almarhum, maka ia akan juga tinggal di sana. Sekiranya ia mengandung pada waktu suaminya meninggal, maka anak yang akan dilahirkan harus menjadi anggota dari klan suaminya.

Yang lebih disukai ialah perkawinan turun ranjang, yaitu membiarkan si janda kawin kembali dengan saudara dari almarhum suaminya; dahulu seringkali si janda itu oleh klan suaminya dipegang sebagai istri kedua atau ketiga dalam suatu perkawinan poligami. Orang mengharapkan bahwa ia akan memberi makan dan mendidik anak-anak suaminya, yakni anak-anaknya sendiri, untuk kepentingan klan suaminya.

Munabai karwar (korwar) atau amfyanir. Orang telah menyanyikan kayob dan munabai, yang di dalamnya wor (lagu) dan nyanyian perkabungan diperdengarkan berganti-ganti. Ini dinamakan juga wor kankanes munabui (memperdengarkan nyanyian ratapan untuk jiwa si mati: munabui). Dengan demikian jiwa itu telah diantarkan ke kerajaan maut. Tetapi di masa dahulu orang menggunakan tulang-tulang dan tengkoraknya untuk tujuan yang samasekali lain. Orang menyimpan tulang-tulang di dalam peti ukir dari kayu keras (sner) di tempat khusus di dalam gua atau di tepi karang. Dalam hal ini orang harus menantikan sampai bagian-bagian yang lunak dari mayat itu telah membusuk. Kadang-kadang orang mempercepat proses itu dengan menancapkan sebatang bambu di atas tengkorak itu lalu menuangkan air ke dalamnya, hingga bagian-bagian dagingnya telah membusuk dan orang dapat menggunakan tengkorak itu. 

Dalam hal ini orang membuat patung-patung roh (Korwar atau karwar); dalam patung itu disediakan tempat terbuka untuk tengkorak; tengkorak ini dapat dimasukkan dari belakang, dari atas ke bawah atau dari depan. Kalau dimasukkan dari depan, tengkorak itu dipakai sebagai muka, sedangkan dalam hal yang lain muka itu harus diukir dalam kayu. Dalam membuat dan memfaedahkan karwar itu dapat dibedakan beberapa tahap. Semua tahap itu disertai munabai, nyanyian ratapan, yang oleh orang Numfor lebih disukai dinamakan kayob.

Sumber: Buku Ajaib di Mata Kita, Jilid 1, 1981

Post a Comment for "SPAS ADAF: UPACARA MENCABUT BENDERA"