PEMBUATAN PETI ABAI SUKU BIAK - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PEMBUATAN PETI ABAI SUKU BIAK

Menebang pohonnya yang sebaiknya dipilih sesuai dengan petunjuk yang diterima seorang di antara sanak keluarga di dalam mimpi. Memahat bentuk yang kasar dan mengerjakannya pada hari-hari yang berturut-turut; dalam mengerjakan itu tiap klan dan daerah mempunyai gayanya sendiri. Pada orang Numfor: membuat rumah-rumahan kecil dari balok yang segera dipakai sebagai tempat tinggal bagi jiwa yang kedua, yaitu nin. Memasukkan mata (manik-manik), sebaiknya yang kuning warnanya. Dan yang terpenting: memanggil jiwa si mati (nin) untuk masuk ke dalam ai kakob (tokoh kayu yang telah diukir itu). Patung itu ditaruh ditempatnya, dan apabila nin datang, patung itu bergerak.

Kalau hal ini telah terjadi, sekali lagi dalam nyanyian orang memuji jasa-jasa almarhum, dan kini diumumkan kewajiban-kewajibannya yang baru, yaitu menjaga sanak saudaranya. Pada waktu timbul penyakit, kadang-kadang orang membelah-belah patung itu, seperti telah disinggung dalam bab-bab yang terdahulu dan akan diberitakan lagi dalam bagian berikut buku ini. Korwar-korwar itu kadang-kadang dipotong-potong, dijual (sebagai budak) atau bahkan dibakar. Semua ini menunjukkan bahwa orang tidak' secara otomatis terus saja memuja roh nenek moyang itu. Roh-roh itu harus membuktikan manfaatnya dengan jalan berbicara (yang dinamakan mon beyawawos: roh yang bicara) melalui mimpi atau penglihatan, atau pun dengan jalan menolak penyakit yang menyerang ke tempat lain.

Befafos aba kor bemar (menyiapkan peti tulang). Di Biak Selatan ada kebiasaan untuk membuat peti tulang-belulang, sesudah bagian-bagian yang lunak dari sang mayat telah hilang. Peti atau aba ini kurang dari satu meter panjangnya, dengan tutup yang berbentuk sungkupan. Menurut contoh yang dibuat pada tahun 1974 oleh seorang dari Korido, tutup itu menonjol sedikit, agar tulang-belulang itu tak dapat kena hujan. Tutup itu dihias dengan ukir-ukiran kayu, dan menurut para informan seluruhnya terbuat dari jenis kayu yang khas, yaitu sner, mengnau dan lain-lain.

Satu jenis ikan yang namanya ampow disebut juga aba karena bentuk ikan yang khas ini mengingatkan orang pada peti penyimpanan tulang-belulang orang mati itu. (Van Hasselt: Kamus). Patut dicatat bahwa di sebuah gua di kampung Asokweri, Waigeo Utara, yang didiami segolongan orang pindahan Biak dari Wardo, katanya terdapat beberapa peti mayat yang dipahat dari batu, yang menurut keterangan yang kami peroleh dari seorang pegawai pemerintah bentuknya menyerupai seekor ikan. Para pembuatnya rupanya bertolak dari miripnya sebuah aba dengan seekor ikan, dan dari situlah mereka membuat tokoh ikan. Ini adalah suatu hal yang jarang ada, dan kita tidak pernah mendapat berita seperti itu dari daerah-daerah orang Biak lain.

Kebanyakan orang Biak pun tidak membuat aba. Tulang-belulang orang-orang yang mati dibawa pada malamhari ke Meosbefondi (Meos-Korwar) di sebelah baratlaut pulau Supiori. Di pantai yang tinggi di timur, di belakang garis pesisir, pernah dalam tahun 1952 penulis melihat suatu timbunan besar tulang-belulang yang berukuran tak kurang dari 12 kali 14 meter dan tingginya hampir mencapai tinggi manusia. Namun tak ada di situ jejak aba. Aba yang asli dahulu memiliki dua buah korwar di kedua ujung tutupnya, yang dipasang sedemikian rupa, hingga mukanya berhadap-hadapan. Di ujung-ujung batu karang, pada garis permukaan air di batu karang yang sudah tua dan di dalam gua-gua tidak dijumpai jejak aba. Juga, tak seorang pun dari para informan menyebutkan adanya aba itu. Menurut pendapat saya, tak ada satu museum pun menyimpan aba yang asli. Sukar pula dipercaya, kalau atas kemauan orang-orang asing mereka itu mau mengosongkan aba yang asli dan menjualnya, berarti melepaskannya.

Upacara-upacara insidentil

Wor Fan Nanggi (upacara "memberi makan, memberi sesajen" kepada langit, Manseren (Seren) Nanggi: Tuhan Langit). Meskipun upacara ini adalah upacara yang khas Biak, namun upacara ini diadakan juga di berbagai tempat lain. Van Hasselt melihatnya untuk pertama kali di Mansinam, dan dilakukan oleh seorang Biak. Makanan disajikan di atas sebuah panggungan yang ada bagiannya yang datar. Di kaki panggungan itu diletakkan alat menangkap ikan dan alat pertanian. Mon (imam, syaman) meletakkan sesajen yang berupa barang dari alam itu, kemudian dengan tangan dikembangkan dan kepala ditegakkan ia berdiri di atas panggungan dan memanggil Nanggi:

Hai, berilah, berilah; berilah jawaban, jawablah saya.

Ke manakah Engkau pergi, apakah Engkau sedang dalam per-

jalanan yang jauh, di tanah asing?

Tuhan, Engkaulah itu yang kami raba, datanglah padaku!

Bicaralah kepadaku, datanglah padaku!


Kalau tangan yang diacungkan itu bergetar, maka itulah tanda bahwa Nanggi telah betul-betul turun dan akan memberikan jawaban. Ini terjadi dalam bentuk penglihatan dan suara-suara yang hanya dapat dimengerti oleh si perantara. Sorak-sorai dari arah tertentu atau suara ratap-tangis dapat berarti bahwa di arah itu orang akan menang (misalnya arah selatan, tempat terletaknya pulau Arwa (Yappen). Sorak-sorai itu diangkat oleh pihak sendiri, yang telah memperoleh kemenangan; ratap-tangis datang dari musuh (dalam hal pihak yang menyerang itu kalah, mereka ini menarik diri dengan berdiam diri; baru setelah pulang ke tempat sendiri mereka mengangkat ratap-tangis). 

Pada umumnya, lepas dari peristiwa tadi, suara-ratap-tangis berarti hilangnya jiwa manusia karena menderita kekalahan, karena kelaparan atau karena penyakit. Kaisjepo menulis bahwa upacara ini terutama diadakan pada waktu berlakunya keadaan tidak menentu atau pada waktu berlangsungnya bencana kelaparan yang mengancam (angkakori). Ini adalah upacara yang bersifat umum: semua klan dan setiap orang ikut serta. Kalau jawaban tidak datang, maka orang dapat mengulangi panggilan itu pada waktu yang lain. Tetapi kalau "Langit tetap diam", jangan orang membalas dengan mengucapkan ancaman-ancaman, apa lagi dengan menembakkan anak panah seperti yang pernah terjadi dahulu, sebab akibat-akibatnya bisa gawat: mati kena petir misalnya, seperti yang menimpa kedua pahlawan Fakok dan Pasrefi.

Sumber: Buku Ajaib di Mata Kita, Jilid 1, 1981

Post a Comment for "PEMBUATAN PETI ABAI SUKU BIAK"