JEJAK-JEJAK PARA PEDAGANG TIONGHOA DI NEGERI PAPUA
Lukisan seorang pedagang Cina-Ambon di Papua, 1830 Oleh Dumont d'Urville (1790-1842) |
DI ABAD ke-21 ini, kita sering mendengar istilah “CINDO” yang viral di media sosial dan sering dipakai kalangan anak muda Indonesia. Tapi, pernah kah Anda mendengar istilah "PERANCIS"? Ini bukan memaksudkan negara Perancis ya! Tapi, istilah ini merupakan akronim atau singkatan dari "Peranakan Cina Serui". Di Papua kita akan sering mendengar istilah ‘cina papua’, ‘cina biak’, ‘cina serui’ dan sebutan lain yang disematkan pada orang Cina maupun peranakan Cina Papua.
Tak dapat
dipungkiri bahwa etnis Tionghoa ini sejak lama telah meninggalkan jejak-jejak sejarah
di tanah Papua. Tapak-tapak kaki masih membekas dalam untaian waktu, rekam
jejak mereka masih dapat dilihat melalui kuburan-kuburan Cina yang menyimpan memori
kolektif di sana. Proses terjadinya saling kawin mawin, asimilasi, melahirkan komonitas-komonitas
turunan orang Cina Peranakan di Papua. Dan sampai saat ini, generasi Cina-Papua
banyak tersebar di beberapa kota di Provinsi Papua dan Papua Barat seperti
Serui-Kepulauan Yapen, Jayapura, Sorong, Biak, Fakfak, Nabire, Manokwari, Raja
Ampat dan tempat lainnya.
Masuknya orang Cina di Papua adalah karena terdapat banyak
komoditas berharga yang menguntungkan. Selain
itu, produk-produk Cina seperti porselen (piring cina, guci) dan barang-barang
lainnya, juga diminati orang Papua dan menjadi simbol status sosial. Suku-suku
dipesisir tanah Papua menggunakan porselen cina sebagai benda mas kawin dan
harga benda berharga. Sebagai pedagang keliling mereka membaca peluang bisnis
tersebut, hal ini mendorong mereka untuk datang ke Papua dan menetap di sana
dan meleburkan diri dalam budaya orang Papua. Dengan tetap mempertahankan
identitas kebangsaan mereka.
"Permintaan
global terhadap keramik-keramik China menjadi sangat besar. Keramik-keramik
elok tersebut menjadi simbol status sosial. Keramik-keramik itu pula termasuk
benda yang ikut dikuburkan bersama jasad manusia...Dari 1602 sampai 1682, total
ekspor China melalui Maskapai Dagang Hindia Timur Belanda (Dutch East India Company) sebanyak 16 juta porselen dalam jangka
waktu delapan puluh tahun. Selain Maskapai dagang Hindia Timur Belanda, China
juga mengekspor keramik lewat kelompok-kelompok dagang China, Arab, Inggris,
Jepang, India, Portugis, dan Asia Tenggara. Karena itu selama periode akhir
Dinas Ming dan periode awal Dinasti Qing, ekspor keramik China ke pasar dunia
mencapai jumlah yang sangat besar."—Tulis Tan Ta Sen dalam Cheng Ho:
Penyebar Islam dari China ke Nusantara, 2010, hlm. 71
Potret Go Siang Kie, pedagang kulit kayu Masoi di Papua, 1953, Sumber: papuaerfgoed.or |
Adapun beberapa penemuan oleh para arkeolog Papua di situs di Kabupaten Nabire, dimana banyak ditemukan keramik Cina pada era Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1636-1917). Perdagangan barter antara orang Papua dan pedagang China dapat ditemukan dalam manuskrip-manuskrip bangsa Eropa, maupun tinggalan cerita tutur dari orang Papua sendiri.
Komoditi apa
saja yang ditawarkan orang Papua kepada pedagang Cina? Ada banyak komoditi
berharga yang berasal dari Papua, yang sering di barter oleh pedagang Papua dan
China. Seorang penjelajah asal Inggris, Thomas Forrest dalam bukunya A Voyage to New Guinea and the Moluccas from
Balambangan, 1779 menjelaskan bahwa orang Papua, diteluk Saireri melakukan
barter dengan pedagang China. Komoditi yang dibarter adalah "Ambergris, Kulit Masoi, teripang,
kulit penyu, mutiara, burung Luri hitam, Luri Merah Besar, Cenderawasih"
maupun komoditi lainnya.
Hal ini
senada juga dengan para sejarawan lain yang menulis tentang perdagangan di
Nusantara, terlebih khususnya di Indonesia Timur. Ekspor terdiri dari Emas,
Mutiara, Penyu, Sarang burung Walet, Sagu, Tripang, Rempah-rempah dan
buah-buahan. Orang Bugis, Orang Papua
dan Orang China berdagang di pulau
ini".—Tulis Philippus Pieter dalam
Handboek der Land-en Volkenkunde,
Geschied-, Taal-, Aardrijks en Staatkunde van Nederlandsch Indie volume II,
1841, hlm. 271
Dalam perjalanan Thomas Forrest pada 1774-1775 di Papua ia melihat di beberapa tempat, pedagang Cina secara intensif melakukan kontak dengan masyarakat Papua untuk berdagang. Selain, ambergris, kulit masoi, tripang, kulit penyu, mutiara, burung Cenderawasih dan jenis burung lainnya, orang Cina juga mulai terjun dalam perdagangan getah damar di Papua.
Potret Salah satu Pedagang Damar, etnis Tionghoa dan Anaknya di pulau Biak, 1920-an
Dalam
laporan L. J. Van Dijk, Boschbedrijf En Boschbeheer In de Residentie
Molukken, Noord-Nieuw Guinea (1939) ia mencatat beberapa nama-nama para
pedagang Damar etnis Tionghoa yang telah lama menetap di pulau Biak dan Serui
pada 1800-an hingga 1900-an. Mereka ini adalah Pan Tjin Lok, Oej Tjioe, Ang The, Lin Teng, Oei Ling, Oei Pin Boo, Ngo
Nai, dan Tan (Tania), Kho, Thung, Soe, Kho (Kho Hon Gan), Lee, dsb.
Usaha-usaha dagang para leluhur Tionghoa di tanah Papua
meninggalkan jejak unik bagi generasi penerus mereka. Banyak dari generasi
keturunan China-Papua memilih menetap dan menjalankan usaha-usaha bisnis mereka
di Papua. Dan, usaha yang dijalankan pun beragam mulai dari Supermarket, Toko,
Restoran, Otomotif, Perusahaan-perusahaan Swasta, dan beragam bisnis lainnya.
Hubungan perdagangan antara masyarakat Papua dan para pedagang Cina ini telah dipupuk sejak lama. Bahkan bukan cuma soal hubungan dagang, atau hubungan persahabatan saja, melainkan hubungan ini lebih jauh pada hubungan percintaan. Banyak dari pedagang Cina menikahi perempuan-perempuan asli Papua. Dari hasil perkawinan tersebut, lahirlah turunan-turunan campuran dengan ciri-ciri fisik berkulit putih, berambut keriting dan bermata cipit. Generasi berdarah campuran ini terbilang unik, sebab mereka menggunakan identitas marga etnis Cina-nya dan menggunakan marga Papua dari pihak ibunya sekaligus. Ini menjadi sebuah identitas baru yang menunjukkan darah campuran Tionghoa-Papua.
Post a Comment for "JEJAK-JEJAK PARA PEDAGANG TIONGHOA DI NEGERI PAPUA"