Meneropong Kepercayaan Kuno Tradisi Kematian Suku Biak - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Meneropong Kepercayaan Kuno Tradisi Kematian Suku Biak

Rus (rumah kuburan) suku Biak, 1800-an


Dalam bukunya Prehistiric Religion, E. O. James menulis, "Dari semua situasi...yang dihadapi manusia, kematianlah yang paling meresahkan dan memukul...Jadi, tidak mengherankan bahwa kultus kematian telah menempati kedudukan yang sedemikian menonjol, dan berperan penting dalam masyarakat manusia sejak awal pemunculannya."

Tradisi kematian dalam masyarakat Biak Numfor jika ditelusuri begitu menonjol. Kultus kematian suku Biak menjadi dominan dalam kehidupan masyarakatnya di masa lalu dan penuh dengan takhayul. Kata "mati atau meninggal" dalam bahasa Biak disebut "mar/roe". Bentuk kata kerja "kematian" disebut "marmar".    

Orang Biak di masa lampau memercayai bahwa kehidupan seseorang terdiri dari beberapa bagian yang hidup dalam diri seseorang yakni baken saprop (tubuh jasmani), nin (roh jiwa) dan rur (roh jiwa). Ketika seseorang meninggal baken saprop akan lenyap, sedangkan rur atau nin akan tetap ada. Menurut tradisi suku Biak, nin akan tetap berdiam pada seseorang yang telah meninggal dan menetap pada tengkorak dan rambut si mati. Untuk alasan inilah, dibuat penghargaan/kehormatan kepada orang yang telah meninggal dengan membuat korwar (patung) atau menggunakan tengkorak orang yang sudah mati sekaligus menjadi media perantara antara orang yang mati dengan kerabatanya tetap terhubung. 

Berbeda dengan dengan rur yang akan pergi ke negeri roh atau soroka yang mereka sebut munaibu (inaibui, yenaibu). Mereka meyakini bahwa di Yeinaibu manusia yang mati menikmati kemakmuran, kebahagiaan, makanan berlimpah, banyak ikan, dan banyak buah-buahan. Tapi, untuk menuju ke tanah jiwa ini ada banyak tantangan, mereka harus diperiksa sebelum bisa sampai ke Inaibui.  

Salah satu rumah kuburan di pulau Padaido, 1916-1920

Mereka percaya bahwa "Selama jenazah masih berbau busuk, dia terus berkeliaran di sekitar rumah, dan segala cara harus dilakukan untuk tidak membangkitkan amarahnya. Hanya ketika tulang-tulang itu digali dan dimasukkan ke dalam abai barulah jiwa mengejar perjalanan ke sana tanah jiwa. Ada yang mengatakan bahwa daratan ini terletak di suatu tempat di bawah dasar Soren Mbrur (Samudra Pasifik). Yang lain percaya bahwa jiwa pertama kali melakukan perjalanan ke Meos Bepondi dan pergi ke sana melalui kursi bambu ke dunia bawah".—Tulis De Bryun dalam Schouten- en Padaido-eilanden (Mededeelingen Encyclopaedisch Bureau 21). Batavia, 1920.

Dr. F. C. Kamma mencatat beberapa proses upacara kematian hingga proses penguburan pada suku Biak mulai dari Kankanes Kayob, Farbabei, Panamomes Romowi,  Serak, Katerwark, Fawar, San Merbak, sampai bagian-bagian lainnya. 

Dalam perkabungan (ratapan) orang menyanyikan lagu perkabungan yang disebut "Kankanes Kayob/Dow Kankanes" atau "Munabai". Munabai sendiri berasal dari Abai atau Aibe yakni sebuah kotak peti yang terbuat dari kayu untuk menyimpan tulang belulang orang mati. Sehingga rumah bagi orang mati (kuburan) disebut rus atau abai.  Selain itu, di masa lampau tengkorak si mati atau tulang belulang biasanya ditaruh juga di dalam gua-gua (Abyau, Snefer). Kalau dikuburkan dalam gua, ditepi karang di laut, atau dikubur mereka harus meletakan mayatnya sesuai arah terbit dan terbenam matahari. Kepala harus berada pada posisi Orisyun (matahari terbenam, bagian barat).  

Biasanya, orang memohon permohonan, perlindungan dari mara bahaya kepada si mati, namun disisi lain mereka juga memohon Manseren Boryas (Nanggi) untuk menyelamatkan mereka dan melindungi mereka dari berbagai penyakit. Keyakinan mereka tidak bersifat eksklusif.  

Ketika masuknya agama Kristen diantara masyarakat Biak, tradisi-tradisi atau adat-adat ini mulai ditinggalkan sebab tidak sejalan dengan ajaran Kristus. Namun, jika diamati tradisi-tradisi ini masih melekat  pada masyarakat Biak Numfor di masa kini. Contoh banyak orang masih takut kepada orang yang sudah mati, sehingga harus dibuat acara tiga malam dan empat puluh malam. Dengan alasan bahwa jika tidak melakukanya mereka bisa mendapat gangguan dari si mati. 

Reference: 
- Ajaib di Mata Kita, Jilid 1, 1981
- De Bryun, 1920

Post a Comment for "Meneropong Kepercayaan Kuno Tradisi Kematian Suku Biak"