KETERAMPILAN PEREMPUAN PAPUA DALAM SEJARAH PEMBUATAN GERABAH - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KETERAMPILAN PEREMPUAN PAPUA DALAM SEJARAH PEMBUATAN GERABAH

sempe tanah liat orang papua
Wanita Doreri (Manokwari) dan gerabah, 1900-1903 


KETERAMPILAN membuat tembikar atau gerabah pot tanah liat hampir didominasi oleh kaum perempuan Papua di masa lampau. Berabad-abad lamanya, perempuan Papua memainkan peranan penting dalam menjaga dan melestarikan pembuatan gerabah (sempe) yang hampir tersebar di beberapa wilayah tanah Papua. Tradisi gerabah di tanah Papua memiliki sejarah panjang, namun disisi lain mengalami kemunduran pada masa kini. Banyak generasi muda mudi Papua tidak lagi mengasah keterampilan dasar dalam pembuatan gerabah.  

wanita kampung kayu batu, Jayapura
Para Ibu dari kampung Kayu Batu melakukan proses pembakaran sempe, 1959
Masyarakat Tabi dari Sentani, kampung Abar, Tobati,  Kampung Kayu Batu, Depapre dan beberapa kampung lainnya secara turun temurun mewarisi keterampilan pembuatan sempe. Konon, produk lokal mereka sampai ke perbatasan Papua Nugini. Berbagai bentuk gerabah hasil produksi  memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari gerabah (sempe) untuk memasak papeda, ikan, ramuan, dan sebagai wadah penampungan air. 

Wadah tanah liat (sempe) ini dalam bahasa Sentani disebut Helai, Hele (Ebe Hele). Selain itu ada juga  jenis wadah untuk makanan yang disebut Kenda (Kende) yang bila diterjemahkan berarti piring tanah liat. Biasanya Helai ini akan dialas dengan Nauka (Mauka) sebagai tempat dudukan Hele. Nauka sendiri mengandung nilai-nilai dan pesan moral di dalamnya, yang menuntut kekompakan, keakraban dan persatuan. Di masa kini, para pengrajin dari kampung Abar masih membuat helai dan nauka. 

Jauh sebelum masuknya keramik Tiongkok (China) di tanah Papua, kaum wanita Papua terlibat dalam lalu lintas perdagangan dan persebaran gerabah tanah liat. Adapun gerabah tanah liat yang dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran menjadi prioritas utama alat dapur rumah tangga. Gerabah tanah liat menjadi wadah andalan masyarakat PapuaPengetahuan dasar yang dimiliki para ibu-ibu, menjadi bekal yang berharga bagi anak-anak mereka. Keterampilan ini diwariskan kepada anak-anak perempuan dan diajarkan turun temurun. 

Bagi masyarakat pesisir Utara Papua seperti masyarakat Teluk Cenderawasih (Saireri) gerabah tanah liat dijadikan benda mas kawin pada masa lampau, dan sebagai peralatan rumah tangga dalam perlengkapan dapur. Catatan paling awal mengenai gerabah di Papua, seperti catatan Navigator Inggris Thomas Forrest pada 1775 di Doreri, Manokwari, Papua Barat. Forrest menulis, "Saya melihat para wanita kadang-kadang membuat tikar, di waktu lain membentuk potongan-potongan tanah liat menjadi pot tanah; dengan kerikil di satu tangan, untuk dimasukkan ke dalamnya, sementara di sisi lain mereka juga memegang kerikil, yang dengannya mereka mengetuk, untuk memperbesar dan menghaluskannya. Pot yang dibentuk sedemikian rupa, dibakar dengan rumput kering, atau semak belukar ringan." (Forrest, 1779:96) 

pembuatan gerabah tanah liat
Para wanita di Kepulauan Yapen sedang membuat gerabah, 1925-1930

Orang Biak Numfor mengenal jenis-jenis gerabah tanah liat seperti Kibir, Ben, Ben Saprop, Kabeso, Uren, dan jenis lainnya. Di k
epulauan Yapen (Serui), sejak dulu merupakan salah satu penghasil gerabah tanah liat yang dipasarkan ke berbagai kampung-kampung di teluk Cenderawasih. Para pengrajin ini berasal dari pulau Kurudu, Serui Laut, dan kampung-kampung lainnya. F. S. A. De Clerq (1893:182) juga menulis bahwa di Sorong, pulau Doom penduduk membuat pot tanah liat yang mereka sebut kaban. 

Kebanyakan pembuat gerabah didominasi oleh kaum wanita. Orang Tabi, orang Yapen Waropen, orang Biak Numfor, dan suku-suku lain di Papua, menggunakan gerabah sejak masa lampau sebelum masuknya produk-produk porselen Cina. 

Ketika Jalur Keramik mulai mendominasi dunia, China muncul dengan komoditas ekspor utama yaitu benda-benda keramik. Dinasti Ming mengapalkan berbagai produk unggulan mereka ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. "Permintaan global terhadap keramik-keramik China menjadi sangat besar. Keramik-keramik elok tersebut menjadi simbol status sosial. Keramik-keramik itu pula termasuk benda yang ikut dikuburkan bersama jasad manusia...Dari 1602 sampai 1682, total ekspor China melalui Maskapai Dagang Hindia Timur Belanda (Dutch East India Company) sebanyak 16 juta porselen dalam jangka waktu delapan puluh tahun. Selain Maskapai dagang Hindia Timur Belanda, China juga mengekspor keramik lewat kelompok-kelompok dagang China, Arab, Inggris, Jepang, India, Portugis, dan Asia Tenggara. Karena itu selama periode akhir Dinas Ming dan periode awal Dinasti Qing, ekspor keramik China ke pasar dunia mencapai jumlah yang sangat besar."Tulis Tan Ta Sen dalam Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara, 2010, hlm. 71

Pada periode 1600-1900-an inilah keramik Tiongkok menjadi komoditas unggulan di Papua. Ini cocok dengan beberapa penemuan oleh para arkeolog Papua pada salah satu situs di Kabupaten Nabire mereka menemukan keramik Cina Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1636-1917) dan keramik Eropa. Bentuk dan desain yang menawan membuat orang-orang Papua ingin memilikinya sebagai simbol status sosial. Meskipun pada periode-periode awal tampaknya tidak begitu berpengaruh pada hilangnya tradisi pembuatan gerabah, namun secara berangsur-ansur memasuki abad ke-19 dan abad ke-20, terlihat jelas bahwa masyarakat di teluk Cenderawasih tidak lagi melanjutkan tradisi leluhur ini. Ini berbeda dengan masyarakat Tabi yang masih mempertahankannya meskipun hanya beberapa kampung saja. 

Pada masa lalu, orang Papua benar-benar menggunakan hasil karya buatan mereka sendiri tanpa tergantung pada produk luar.  Para wanita Papua zaman dahulu, memiliki semangat kerja keras yang tinggi, tekun, ulet dalam melakukan berbagai perlengkapan dapur. Semangat dan kerajinan mereka patut menjadi contoh pada masa kini.

Post a Comment for "KETERAMPILAN PEREMPUAN PAPUA DALAM SEJARAH PEMBUATAN GERABAH"