PULAU DOOM, Sorong: Pusat Pemerintahan & Perdagangan Tempo Dulu
Peta Papua tahun 1800-an, I. Dornseiffen |
SORONG-DOOM DALAM PETA PAPUA TAHUN 1800-AN
Karya peta Papua abad ke-19 menjadi gambaran masa lalu tentang sebuah kota maju di tanah Papua yakni kota "Sorong" dimana pada waktu itu pusat perdagangan masih aktif di pulau Sorong alias pulau Doom. Peta karya Dr. I. Dornseiffen pada tahun 1884, merupakan salah satu karya hebat. Dalam bukunya berjudul Atlas Van Nederlandsch Oost-en West-Indie ada peta Papua disana. Jika Anda melihat-lihat peta tersebut dengan teliti, Anda akan menemukan dua nama yang menarik perhatian yakni nama "Sorrong" (Sorong) dan nama "Doem" (Dum, Doom) yang dengan jelas tertulis pada peta Dornseiffen.
Dua nama itu menunjuk pada pulau Doom. Pulau Doom adalah pulau yang istimewa sebab menyimpan banyak kisah masa lalu orang Papua maupun para pedagang, orang Eropa, dan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Siapa yang tidak kenal pulau Doom? Pulau ini adalah satu-satunya pusat pemerintahaan Belanda yang dijalankan melalui pulau tersebut. Bahkan jauh sebelum adanya sebuah sistem pemerintahan berciri Eropa disana. Sudah ada sistem pemerintahan tradisional dan jaringan perdagangan di pulau Doom.
Peta di atas juga menegaskan bahwa nama "sorong" sudah ada jauh sebelum perusahaan minyak beroperasi di sana. Sorong-Doom (Sorn-domi) merupakan pusat perdagangan yang cukup ramai sejak kontak antara sesama orang Papua di masa lalu, hingga masuknya pemerintahan Belanda di tanah Papua.
Kontak dagang yang dilakukan oleh sesama orang Papua, misalnya antara orang Salawati, Biak dan suku Moi yang sudah terjalin sejak lama. Dan juga antara orang Papua dan para pedagang dari luar Papua, seperti seperti orang Bugis, Makasar, Maluku, China, maupun orang Eropa mendatangi pulau ini untuk mencari berbagai komoditas lokal untuk dibeli atau dibarter.
Keterangan tertulis tahun 1800-an, dari seorang resident Belanda bernama F. S. A. De Clerq, menulis, "Di seberang ujung timur laut Salawati, di lepas pantai New Guinea, tepat sebelum Tanjung Noi, adalah pulau kecil Dom, dengan Negeri Kasyu atau Sorong di pantai timur. Ini terdiri dari distrik Warfandu, Mansumber dan Warwe, dua yang pertama dihuni oleh orang-orang dari Sembilan Negeri dan masing-masing dengan Sengaji terpisah sebagai kepala. Ada lebih dari dua puluh rumah dan masjid, semuanya kecuali beberapa dibangun di atas panggung dan sebagian besar di tepi pantai, beberapa tempat dikelilingi oleh kebun-kebun sayuran yang tidak besar. Penduduknya memeluk agama Islam dan mencari nafkah dengan memancing tripang dan penyu, membuat tungku sagu yang biasa digunakan di daerah ini dari tanah liat yang didatangkan dari daratan. Mereka juga membeli kulit burung, yang mereka serahkan kepada para pedagang; di antaranya adalah beberapa orang Bugis dan keturunan mereka, yang sebelumnya diangkat sebagai rakyat oleh Raja atas permintaan mereka sendiri. Mereka mendapatkan air minum dari sumur yang digali beberapa langkah dari pantai".―De West- en Noordkust Van Nederlandsch Nieuw-Guinea, 1893, hal. 182, par. 3
Seperti catatan De Clerq bahwa ternyata penduduk pulau Doom (Kasyu) juga membuat gerabah tanah liat yang disebut kaban. Gerabah ini setelah diproses nantinya akan diperdagangkan dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu lintas perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat pulau Doom di masa lalu hingga kini masih menggunakan perahu sebagai sarana transportasi laut yang sangat penting dalam aktifitas dagang dan berpergian.
Foto perahu Kajang di pulau Doom, tahun 1954 |
BERDIRINYA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA DI PULAU DOOM
Beberapa kepala pemerintahan lokal yang menjalankan tugas administratif di Onderafdeeling Sorong yang berkedudukan di pulau Doom, pada tahun 1917-1930-an adalah:
Rumah gezaghebber pada tahun 1937. |
Post a Comment for "PULAU DOOM, Sorong: Pusat Pemerintahan & Perdagangan Tempo Dulu "