Jejak Sang Kamasan Biak Pandai Besi dari Papua
![]() |
Kamasan, Penempa besi (Biaksche Smederij) di kampung Manduser Bosnik, 1900-an |
"Bellow terdiri dari dua silinder kayu, di mana piston, yang ujungnya diikatkan pegas, dipasang. Seorang anak laki-laki bergiliran menggeser piston ke atas dan ke bawah. Udara diumpankan melalui pipa bambu ke sebuah batu (kunfor), di mana sebuah lubang telah dibor, dan dihembuskan ke api arang di depannya. Yang sangat populer sebagai kunfor adalah batu apung. Itu ditemukan di antara akar batang pohon yang terbawa arus laut dari pulau vulkanik di New Guinea Jerman. Di sebelahnya, pandai besi memiliki wadah berisi air, di mana berbagai zat telah dicampur untuk memberikan kekerasan pada besi. Dia merahasiakan zat apa yang digunakan untuk tujuan ini; Namun, adalah fakta bahwa parang yang agak buruk yang diimpor oleh pedagang Cina sangat ditingkatkan kualitasnya dengan menempa di Korrido atau Sowek. Ujung tombak dari kampung-kampung ini juga umumnya terkenal. Pandai besi dilarang makan (marmur) labu dan babi, terkadang papeda juga dilarang".
Tulis Feuilletau de Bryun dalam Schouten- en Padaido-eilanden
(Mededeelingen Encyclopaedisch Bureau 21), 1920
PASCA mega stunami (farbrup/fardup) pada tahun ±1370-an, ada cerita rakyat (folklore) yang mengisahkan tentang seorang pandai besi bernama Manamom yang selamat melewati gempa dan tsunami yang meluluhlantakan pulau Biak pada abad ke-14. Seorang Kamasan ini hidup dan tinggal di wilayah daratan pulau Biak bagian Barat (Mun Swandiwe). Menurut cerita rakyat, Manamom memiliki peralatan berkebun yang terbuat dari besi. Sehingga, orang-orang di zaman itu biasa meminjam peralatan seperti parang dari Manamom untuk membabat atau membuka kebun. Tidak diketahui darimana Manamom mendapat ilmu menempa besi tersebut. Tentu hal ini menarik perhatian kita untuk mengetahui lebih dalam pengetahuan orang Biak pada ilmu kamasan.
Pada abad ke-16, terdapat informasi penting dari penjelajah bangsa Spanyol mengenai perlatan besi. Alvaro de Saavedra, seorang pelaut Spanyol, berlayar menggunakan kapal La Florida hingga menyinggahi sebuah pulau yang mereka namakan Islas de Oro (pulau Emas) pada tahun 1528 M. Islas de Oro merujuk pada kepulauan Biak. Alvaro menyebutkan masyarakat disana berambut keriting, menggunakan panah dan memiliki bentuk parang yang unik (indah). Pedang atau parang yang disebutkan Alvaro ini kemungkinan besar adalah parang yang dikenal orang Biak sebagai "Sumber Wonggor" (parang buaya). Jenis parang ini memiliki bentuk desain yang indah yang diukir dengan motif ukiran Biak berbentuk buaya. Totem Buaya dalam budaya suku Biak melambangkan kesatria, keperkasaan dan perlindungan. Jika dikaitkan keterangan Alvaro ini cukup masuk akal sebab ada cerita-cerita rakyat Biak mengenai para Manbri di era 1500-an yang sudah menggunakan alat besi dalam ptertempuran. Contohnya seperti Manbri Kurabesi yang menurut sumber lisan bahwa Kurabesi (Gurabesi) merupakan guru pandai besi. Ada juga Manbri Fakok dan Patref yang konon memiliki keahlian dalam menempa besi. Manbri Munyari (±1580-an) dari Sorido-KBS berperang menggunakan besi (parang) dan para Manbri lainnya.
Masih pada abad yang sama, para pelaut dan penjelajah Spanyol seperti Íñigo Ortiz de Retes bersama pelaut lainnya berlayar menggunakan kapal San Juan de Letran, dan tiba di Papua pada 15-16 Juni 1545, di perairan Papua Utara tampak pulau yang disebut La Sevillana dan La Gallega termasuk yang disebut Martires. Nama-nama ini merujuk pada pulau-pulau di Papua seperti pulau Biak. Di kepulauan Padaido mereka mengamati perahahu-perahu ukuran besar yang menurut catatan mereka perahu-perahu tersebut memiliki ornamen ukiran pada haluan perahu. Perahu-perahu besar yang dirancang suku Biak tentu juga didukung oleh perkakas besi yang membantu proses pembuatan perahu dengan cepat dan efisien.
Suku Biak mengenal logam besi dengan sebutan Mankarmom (Manggarmom), selain besi beberapa mineral logam pun dikenal seperti Brawen (emas), Kansinai (tembaga), Saramburi (besi putih), Sarak (perak) dan jenis logam lainnya. Mankarmom atau besi ini kemudian akan diolah menjadi beragam produk seperti Mkan (kapak), Sumber (parang), Inoi Famaras (pisau), Mnof atau Bome (tombak pemburuh), Mkanden, Sanda, Randan, Sabuku, Adin, Dodoku, Windu, Pasan, Manora (berbagai jenis mata tombak), Kasyawer, Mankarwai, Karukun, Apai dan jenis-jenis lainnya. Lebih khusus pengrajin Kamasan Byak di masa lalu, mengerjakan beberapa jenis parang Biak: 1. Sumber Wonggor, 2. Mangkadawu, 3. Insuf (Insuf Marmar), 4. Serebi, 5. Sondui Kabare, 6. Sondui Inkar, 7. Sumberaim, 8. Sarawori, dan jenis lainnya.
Kualitas hasil tempaan mengalami proses akhir yang disebut soru atau yang dalam bahasa Melayu atau Indonesia disebut sepuh atau menyepuh. Setiap keret Kamasan memiliki undam atau sejenis daun (ramuan) tertenu yang memiliki zat-zat kimiawi yang akan membantu proses sepuh (soru) pada hasil tempaan menjadi kuat, keras dan tahan lama. Secara singkat proses Soru itu seperti keterangan De Bryun, "Pandai besi memiliki wadah berisi air, di mana berbagai zat telah dicampur untuk memberikan kekerasan pada besi. Dia merahasiakan zat apa yang digunakan untuk tujuan ini."
![]() |
Kamasan Doreri, 1900-1903 |
Laporan lain yang berasal dari seorang Pelaut yang juga seorang laksamana Muda Inggris Kapten Philip Carteret (1733-1796) ketika mengunjungi pulau Mapia pada 25 September 1767, salah satu masyarakat asli Mapia mengatakan kepadanya bahwa ada pulau lain di bagian Utara yang penghuninya dikatakan "memiliki besi".
Berdasarkan berbagai catatan tempo dulu maupun cerita rakyat, kita mendapat gambaran atau keterangan yang cukup spesifik tentang masyarakat suku Biak yang mana sudah sejak lama menggunakan besi. Periode 1300-1700-an, mereka sudah memakai peralatan besi. Kemajuan dalam bidang logam ini, membuat mereka meluaskan peta pelayaran dagang mereka ke berbagai wilayah di tanah Papua bahkan sampai ke wilayah Maluku. Darimanakah suku Biak mendapat pengetahuan pandai besi?
Menurut Dr. F. C. Kamma, bahwa "Orang-orang Biak dan Numfor beberapa abad yang lalu telah mempelajari keahlian menempa logam dari Gebe atau Halmahera. Sejak itu mereka sering berkeliling pantai dan pulau-pulau sebagai pandai besi, dan dengan cara ini mereka menjalin hubungan yang baik dengan penduduk pedalaman, yang karena kontak-kontak ini adakalanya datang menetap di pesisir." (Ajaib di Mata Kita, Jilid 1:1981:59)
Sayangnya, pengrajin dan ilmu "pande besi" pada beberapa kampung di Biak dan Supiori mulai hilang, dulu kampung-kampung di Biak Utara, Biak Barat, Biak Timur, dan Biak selatan memiliki masing-masing pandai besi. Ketika memasuki abad ke-19 sampai abad ke-21 ini, kampung-kampung yang dulunya memproduksi kerajinan besi sudah tidak memproduksi lagi.
Kampung-kampung di kepulauan Biak yang masih eksis di abad ke-21 dalam memproduksi parang, kapak, gelang dan alat besi lainya seperti dari kampung Sowek, Distrik Aruri, Kabupaten Supiori. Sehingga orang menjuluki kampung tersebut sebagai "kampung Kamasan". Di Biak Timur, kepulauan Padaido, pulau Owi masih memproduksi beragam kerajinan besi yang bisa anda temui di pasar Bosnik. Hasil tempaan mereka dijual di Biak bahkan dipasarkan ke tempat-tempat lain di tanah Papua.
Post a Comment for "Jejak Sang Kamasan Biak Pandai Besi dari Papua"