Hewan Anjing dalam Kehidupan Suku Biak di Masa Lampau - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hewan Anjing dalam Kehidupan Suku Biak di Masa Lampau

 

anjing bahasa biak
Photo by Victor Grabarczyk on Unsplash


"MAKEI, ROFAN, NAF"

SUKU BIAK atau yang dikenal sebagai orang Byak memiliki beberapa penyebutan khas untuk hewan yang satu ini. Dalam bahasa Biak, setidaknya ada sekitar tiga penyebutan nama untuk anjing seperti Makei, Rofan, dan Naf, (Nafan, Nofan). Secara umum, ketiga bentuk nama ini dapat dimengerti semua kalangan orang Biak.

Anjing atau Makei sejak zaman lampau merupakan hewan yang sangat mendukung atau membantu manusia dalam berbagai hal. Orang Biak menjadikan anjing sebagai teman setia, dan sebagai penolong dan penjaga dalam beberapa kasus.  Bagi para pemburu babi hutan, anjing harus ikut dalam misi perburuan. Pemburu biasanya memelihara beberapa ekor ajing untuk menemaninya sewaktu melakukan perburuan babi. 

Penjelajah Inggris Thomas Forrest menulis dalam perjalanannya di tahun 1775 di Doreri, Manokwari, "Pagi-pagi sekali saya telah melihat para pria berangkat dengan perahu mereka, dengan dua atau tiga anjing yang tampak seperti rubah, di tempat-tempat tertentu untuk berburu babi hutan, yang mereka sebut Ben seekor anjing yang mereka sebut Naf."Thomas Forrest

248 tahun yang lalu Forrest mengamati dengan teliti kehidupan orang-orang di Teluk Doreri dan ia menyebut nama anjing dalam bahasa Biak "Naf". Senada dengan Thomas Forrest,  dalam catatan Alexander Clercq, 1893, ia juga menulis bahwa suku Biak memburu babi hutan dengan "anjing berbulu pendek kuning atau coklat-kuning."


anjing bahasa biak

Seperti anjing pelacak yang trampil, pemburu sangat terbantu melalui anjing peliharaan. Maka, tidak heran "Babi sering diburu dengan anjing, yang dipelihara untuk tujuan itu. Ini mengikuti jejak dan memposisikan babi atau mengarahkannya ke arah pemburu dengan gonggongan keras, setiap kali memaksanya untuk maju dengan gigitan di bagian belakang. Para pemburu bergegas menuju anjing-anjing itu dan menghabisi babi itu dengan tombak. Babi muda ditangkap dengan tangan"—Tulis De Bryun dalam Schouten- en Padaido-eilanden, 1920 

Di masa lampau, rahang anjing atau tulangnya sering digantung didepan beranda rumah seseorang, simbolisme ini menujukkan bahwa seseorang memiliki sifat pemberani dan petarung.   Ajing memiliki kepekaan dan bisa melacak orang-orang yang hendak berbuat jahat kepada tuannya. Dengan gonggongannya yang khas membuat orang-orang yang berniat jahat atau pencuri bisa menjadi takut. 

Orang Biak bahkan punya penyebutan khusus antara sang tuan (majikan) dan anjing. Bahasa Biak menyebut majikan antara manusia dan hewan ini Nakadi (nakaji). Jadi, majikan anjing disebut Nakadi, seekor anjing yang sudah jinak (fyafir) akan selalu setia kepada sang nakadi. 

Ada hubungan khusus antara manusia dan anjing, sehingga binatang ini memiliki peranan istimewa dalam kehidupan orang Biak di masa lampau. Perilaku ajing yang begitu dekat dengan manusia, membuat hubungan antara manusia dan hewan begitu harmonis. Hal ini terpatri dalam pahatan-pahatan ukiran Biak. Di masa lampau, ada bantal kuno yang disebut Afyak yang terbuat dari kayu, biasanya ada Afyak yang dipahat atau diukir berbentuk hewan anjing, sehingga disebut "Afyak Naf".   Kepercayaan orang Biak tempo dulu juga mengaitkan Anjing sebagai penjaga "tanah jiwa" di tempat yang disebut "nyan farsam".

anjing
Afyak Naf, tahun 1887

Konon, ada cerita rakyat Biak tentang seorang pria yang tinggal diatas sebuah bukit bernama Ansarabo. Pria ini sehari-hari ditemani oleh seekor anjing piaraannya. Untuk pertama kalinya pria tersebut mendapat buah kelapa, karena takut untuk memakannya ia memberikan kelapa itu kepada ajing perliharaannya untuk mencobanya lebih dulu. Ternyata, ajing tersebut tidak mati, di saat itu sang pria tahu bahwa buah kelapa bisa di makan tanpa menyebabkan kematian.  Ada banyak cerita rakyat yang mengisahkan tentang anjing dan manusia dalam kehidupan orang Byak.  Dalam banyak cerita keret-keret suku Biak, terdapat banyak sekali narasi tentang anjing. Dan tampaknya,  suku Biak di masa lalu tidak mengkonsumsi daging ajing, kecuali daging lainnya seperti burung, daging babi, ikan, atau hewan lainnya.  Ada juga suku-suku di Papua yang tidak mengkonsumsi daging anjing misalnya seperti suku Amungme, di tanah Amungsa, Timika. Mereka menganggap hewan ini sebagai penyelamat bagi mereka sehingga anjing tidak dikonsumsi sama sekali. 

Dalam kehidupan sehari-hari orang Biak di masa kini, Anjing masih menjadi bagian penting yang selalu diperlihara dan menjadi penjaga rumah yang setia. Pemberian nama-nama kepada ajing peliharaan juga unik, nama paling populer yang sering dipakai untuk menamakan ajing adalah "WARKI" dalam bahasa Biak yang berarti "GIGIT DIA". Ada juga yang menamakan anjing untuk menunjukkan sikap kekesalan, kesedihan, atas suatu peristiwa yang terjadi atau menimpanya. Dan, sering diberikan nama-nama tertentu untuk menyinggung seseorang yang mungkin lagi bermasalah dengan pemilik ajing. Contoh ada yang menamakan anjingnya "Benci", "Sombong", dan nama-nama sindiran lainnya. 

Sejak abad ke-20 sampai abad ke-21, daging anjing yang sering disebut "RW" menjadi menu yang sangat disukai kebanyakan orang di Papua. Di Papua seperti Biak dan beberapa tempat lainnya banyak masyarakat mengeluh atas pencurian ajing peliharaan mereka yang di potas dan dijual, apalagi memasuki bulan Desember.    

Di seluruh dunia, kita bisa menemukan banyak kisah menarik antara anjing dan manusia. Hubungan sosial antara manusia dan hewan ini bisa terlihat dari kesetiaan seekor anjing dan majikannya. Ketika kita memberi sesuatu yang dibutuhkan anjing seperti makanan, minuman, dan tempat tinggal. Secara alami, ajing menganggap kita bagian dari keluarga dan ia rela membela kita sewaktu terjadi bahaya yang mengancam. 

Post a Comment for "Hewan Anjing dalam Kehidupan Suku Biak di Masa Lampau"