KAMPUNG WARSA DI MASA LAMPAU - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAMPUNG WARSA DI MASA LAMPAU

    

kampung warsa
"Kampong Warsa" tahun 1800-an

KAMPUNG WARSA merupakan salah satu kampung tua di utara pulau Biak. Kampung ini telah dikenal bangsa Portugis pertama kalinya pada 1527 M, ketika seorang pelaut asal Portugis bernama Jorge de Menezes (1498-1537) terdampar di sana. Dalam laporan perjalanan mereka Warsa disebut “Versiya” yang menurut para ahli sejarah adalah “Warsa”. Entah mereka melakukan kontak secara langsung atau tidak dengan penduduk Warsa, yang pasti nama tersebut kemungkinan besar mereka dengar dari penduduk setempat. 

Bentuk penulisan “Versiya” dapat dibaca dalam penulisan masa kini menjadi Wersia (Warsya). Konsonan huruf "V" merupakan bentuk bilabial bersuara yang dibaca menjadi huruf "W" ataupun "B".  Baik dalam bahasa Portugis maupun bahasa Biak secara fonetika dapat ditemukan penggunaan bilabial. Ini menjadi penunjuk bahwa pada tahun 1500-an, kampung Warsa sudah ada.  

Secara etimologi atau asal muasal kata nama Warsa berasal kata Warsai yang terdiri dari dua suku kata yakni war:air dan sai:mendidih (berbui-bui, gelembung). Maka Warsa atau Warsai berarti air yang mendidih atau suatu kondisi perubahan zat dari fase cair menjadi fase gas yang akan tampak permukaan air; air yang mengeluarkan gelembung yang berbusa.  Nama warsa ini dinamakan demikian karena kondisi geografisnya, dimana banyak terdapat saluran-saluran mata air di kampung tersebut. 

orang Warsa
Masyarakat Kampung Warsa sekitar tahun 1916-1918
Menurut Bapak S. Wompere, ada setidaknya 15 keret di kampung Warsa baik yang menempati wilayah pesisir dan hutan pada masa lalu, seperti keret Wompere, Arfusau, Marin, Mamoribo, Rumere, Binur, Mnusefer, Rumbin, Kawer, Rumsarwir, Msiren, Makuker, Bransik, Warwer, dan Wamafma. 

Pada zaman dulu, sekitar tahun 1500-1800-an, moyang-moyang Manbri Barbarisen (Biak Utara), berlayar hingga ke berbagai wilayah di tanah Papua sampai di luar tanah Papua. Dengan teknologi perahu tradisional seperti Mansusu, Wairon, Waipapa mereka menembus lautan yang luas dan ganas. Dengan ketrampilan menempa besi (kamkam Kamasan), membuat perahu, dan berperang membuat mereka ditakuti di wilayah Biak Numfor hingga ke teluk Cenderawasih. Bahkan di Sup Amber (Ternate, Tidore, Timor, Ambon, Makasar, dll). 

Leluhur orang Warsa ada yang melakukan pelayaran ke berbagai tempat di pesisir tanah Papua. Beberapa keret dari kampung Warsa dapat dijumpai juga di sekitar wilayah Biak, Supiori dan Numfor bahkan ke tempat-tempat di luar Papua. Sekitar tahun 1700-an, seorang Manbri bernama Funwardo Wamafma, seorang yang berasal dari Warsa (Manwor) ini, bermigrasi ke pulau Numfor, akibat terjadi peperangan rak mamun di Biak. (Kamma, 1981:71)

perahu Warsa
Perahu Mansusu orang Warsa, tahun 1920-an

Laporan resident Belanda, De Clerq pada tahun 1870-an, terdapat 11 rumah dibangun di pesisir pantai Warsa. Orang Warsa yang terdiri dari beberapa keret di masa lampau dikenal sebagai pelaut ulung, di mana mereka bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Papua, seperti di kepulauan Raja Ampat dan sekitarnya. Tak heran beberapa di tempat seperti di Salawati, Numfor menggunakan nama kampung tua ini. 



Potret Kampung Amoi, Warsa, 2022

Dalam catatan historis Resident Pemerintahan Hindia Belanda, pada tahun 1887 kapal Zr. Ms. Stoomschip ”Java” melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah di Papua.  Kapal ini mengunjungi kepulauan Schouten Eilanden atau kepulauan Biak-Numfor. Dari kunjungan tersebut mereka memasuki kampung Warsa pada 17 Oktober 1887, dengan menempatkan atau memasang lambang Negara Belanda setelah memasangnya duluan di kapung Sorido.  Di kampung Warsa, resident melantik SANADI (SANGADJI) SURAI pada tahun 1887. Sanadi Surai adalah seorang kepala di kampung Warsa pada masa itu, namun tidak disebutkan keret atau marganya.  Pada tahun 1910, beberapa guru-guru penginjil di tempatkan di Manwor dan Warsa, seperti guru S. KALIBONSO dan  guru N. HUWAE. Dan pada 1913, N. Huwae memegang dua kampung yaitu kampung Manwor dan Warsa. 

Pada 1919, dibuka pos pemerintah di kampung Warsa yang kala itu di bawah pimpinan Letnan Feuilletau de Bryun (
1886-1972). Kampung terkenal ini melahirkan manusia-manusia cerdas salah satunya seperti Guru dan Penginjil Utrecht Wompere, merupakan salah satu guru zaman Belanda, yang bukan saja menjadi guru melainkan sebagai pencipta lagu-lagu Biak, dan mendedikasikan hidupnya dalam dunia penerjemahan Alkitab bahasa Biak. 

Kampung Warsa memang menyimpan sejarah masa lampau suku Biak, tak hanya nilai historinya, kampung Warsa juga memiliki pemandangan yang eksotik. Di sana terdapat kali Wafsarak yang terkenal hingga kini. 

Post a Comment for " KAMPUNG WARSA DI MASA LAMPAU"