EKSISTENSI ORANG TELUK WONDAMA DI MASA LAMPAU
Ilustrasi Bajak Laut Wandamen, kurun waktu tahun 1800-an |
MASYARAKAT teluk Wondama telah dikenal sejak
lama oleh bangsa-bangsa asing dan eksistensi mereka tercatat dalam berbagai
literatur bahasa Belanda dan Inggris. Dalam literatur bahasa asing (Belanda),
orang Wandamen, orang Windesi, orang Ron, Orang Roswar, Orang Rumberpon, kerap
disebutkan. Dalam kebudayaan orang Wondama terdapat dua tokoh fenomenal yang
memiliki kehebatan, yakni Kuri dan Pasai yang dilambangkan sebagai Matahari dan
bulan. Kedua tokoh fenomenal ini dikenal juga oleh suku-suku teluk
Cenderawasih.
Suku-suku di teluk Wondama, sejak lama dikenal sebagai bajak
laut yang berbahaya dan agresif, dimana wilayah pesisir tanah Papua menjadi tempat
pelayaran tradisional mereka. Laporan Dr.
W. R. Baron van Hoeveel membenarkan hal ini. Ia menulis, “Selama
bertahun-tahun, sebagian besar pantai New Guinea di Teluk Geelvink telah dibuat
tidak aman oleh serangan dan ekspedisi cepat oleh orang Papua dari Wadammen dan
beberapa suku lain yang terkait dengannya” (Baron, 1890:299).
Wilayah-wilayah teluk Wondama, memang memiliki beberapa
komoditi penting dan perdagangan di sana sudah berjalan sejak abad ke-18. Kayu
Masoi (Cryptocarya Massoy), Pala, dan
beberapa komoditi penting. Dalam laporan tahun 1775, seorang Kapten Inggris Forrest
menulis nama “Omberpon” dan “Mandamy”, kedua tempat ini adalah Rumberpon dan Wondama atau Wandamen,
dalam catatannya banyak buah pala (nutmeg)
dikumpulkan di sana, namun ia sendiri tidak tahu kepada siapa masyarakat
menjualnya. (Forrest, 1779:109)
Dalam laporan zending 1866, diketahui juga bahwa orang Yaur, Wandamen, Myoswar menjual "massooi" seharga f10 gulden per pikol kepada pedagang Cina, dan kemudian akan dijual lagi di Ternate dan Jawa dengan harga f15 gulden. Perdagangan ini terus berlanjut sampai tahun 1950-an dimana seorang pedagang cina bernama Go Siang Kie, membeli kulit kayu masohi di Wandamen.
Masyarakat kampung Rasyei, 1911 |
Sejarah dan kebudayaan masyarakat yang menduduki teluk Wondama memang telah eksis selama berabad-abad lamanya. Mereka terdiri dari berbagai suku dan bangsa yang mendiami kawasan teluk dengan adat dan budaya yang saling terkait. Kebudayaan orang Wondama memiliki karakteristik budaya yang sama seperti orang Biak Numfor dan orang Yapen Waropen. Kepercayaan, adat istiadat, seni saling terkait satu sama lain. Wondama sendiri merupakan tempat pendidikan modern bagi orang Papua di masa lampau.
Penulisan nama Wondama atau Wandamen dalam catatan-catatan tertulis bervariasi seperti "Mandamy", "Wandammen", "Wondama", "Wandamin". Nama Wandamen atau Wondama berasal dari bahasa Wandamen (Kavo Wondama) yang secara etimologi terdiri dari dua suku kata "Won/Man" dan "Dama/Rama" berarti orang yang datang; orang yang datang berkumpul, atau tinggal di wilayah itu. Menarik dalam catatan Thomas Forrest (1775) ia menulisnya "Mandamy" dibaca Mandama. Istilah "Mandama" maupun "Wondama" memiliki bentuk makna yang sama.
CATATAN: Masyarakat teluk Wondama terdiri dari beberapa suku bangsa yang menduduki wilayah Doberai-Bomberai: Suku Maniwak, Wamesa, Roon, Kuri, Windesi, Toro, dsb. Di antara beberapa suku yang disebutkan, Suku Wamesa memiliki penyebaran dan populasi yang paling banyak di wilayah teluk Wandamen.
Post a Comment for "EKSISTENSI ORANG TELUK WONDAMA DI MASA LAMPAU"