Sejarah Bahasa Melayu Biak di Tanah Papua - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Bahasa Melayu Biak di Tanah Papua

Photo by Ana Farwas


BAHASA Melayu telah menjangkau hampir seantero pulau-pulau Nusantara. Di Timur Indonesia bahasa ini menjadi lingua franca dan terus berkembang dari masa ke masa. Tak heran, bahasa Melayu banyak memengaruhi bahasa daerah.

Bahasa Melayu merupakan salah satu bagian dari keluarga bahasa Austronesia yang penyebarannya sangat luas. Bahasa ini digunakan dalam perdagangan, politik, surat menyurat, komunikasi antar suku, serta memiliki nilai budaya yang kaya.

Pada masa lalu, pedagang-pedagang Bugis, Papua, Makassar, Seram, China, suka tidak suka mereka harus mempelajari dan mengetahui bahasa Melayu agar bisa menjalankan bisnis mereka dengan sukses di Nusantara terkhusus tanah Papua dan Malaku. Perdagangan yang tumbuh subur di Papua, memicu orang Papua untuk mempelajari bahasa Melayu.

Berkembangnya bahasa Melayu di Maluku, tidak terlepas dari peranan para pedagang-pedagang lokal Maluku, Papua, Bugis, Makassar dan Cina. Menurut catatan bangsa Portugis tahun 1500-an, bahasa Melayu menjadi bahasa sehari-hari yang dituturkan di sana. Di Ternate dan Tidore, orang Papua juga terlibat dalam perdagangan, sebagaimana seperti ditulis oleh Roorda van Eysinga, Philippus Pieter (1796-1856), yang merupakan guru besar bahasa dan etnologi. Ia menulis bahwa pada 1600-1700-an, "Ekspor terdiri dari Emas, Mutiara, Penyu, Sarang burung Walet, Sagu, Tripang, Rempah-rempah dan buah-buahan. Orang Bugis, Orang Papua dan Orang China berdagang di pulau ini".Handboek der Land-en Volkenkunde, Geschied-, Taal-, Aardrijks en Staatkunde van Nederlandsch Indie volume II, 1841, hlm. 271

Pelaut-pelaut dari suku Biak, sering belayar ke Maluku pulang pergi untuk mengunjungi kerabat mereka, berdagang di sana sehingga bahasa Melayu merupakan bahasa yang dipilih dan digunakan selain bahasa Biak. Serapan bahasa Melayu maupun tata bahasa atau struktur bahasa Biak saling mempengaruhi. Bentrok antara bahasa Melayu dan bahasa daerah (Biak) inilah menimbulkan bentuk khas Melayu dengan idiom-idiom baru yang belakangan menjadi sebuah bahasa yang bahkan tidak dipahami komunitas dari suku lain ataupun dari daerah lain di luar tanah Papua.

Masalah linguistik ini, telah diungkapkan oleh seorang sejarawan dan zendeling tanah Papua era 1800-an, J. L. Van Hasselt. Dalam bukunya, ia menulis, ”Tidak seorang pun akan terkejut dengan pengaruh bahasa Melayu pada bahasa Numfor (Biak), ketika orang menganggap bahwa melalui barter penduduk asli terus-menerus berhubungan dengan pedagang berbahasa Melayu, yang melaluinya banyak kata Melayu atau bahasa Melayu yang rusak (Maleische of verbasterd) telah menembus bahasa tersebut. Saya telah menunjukkan dengan penambahan M. atau V. M. setelah setiap kata Melayu yang diberikan bahwa itu bukan bahasa Numfor murni sejauh yang saya bisa menilai. Kami mencoba untuk memurnikan bahasa dari kata-kata yang disusupi ini, tetapi perlu diketahui kata-kata mana dalam bahasa Numfor yang berasal dari bahasa Melayu.”Hollandsch-Noefoorsch en Noefoorsch-Hollandsch Woordenboek, 1876

Van Hasselt yang telah lama hidup bersama masyarakat Biak Numfor menyadari akan hal ini meskipun demikian ia tidak secara langsung menyebutnya bahasa Melayu Biak. Bahasa Melayu khas Biak ini kemudian melahirkan Melayu Biak dimana bahasa ini telah berkembang setidaknya 200-500 tahun yang lalu. Bahasa Melayu Biak yang telah dituturkan oleh komunitas atau kelompok-kelompok suku Biak di wilayah pesisir tanah Papua, ikut menambah kosa kata bahasa Melayu Papua pada masa kini.

Tulisan Melayu Biak
Tulisan di Papan, pulau Mansinam, 2019 
Kunjungan-kunjungan sejarawan Eropa di tanah Papua terkhusus di wilayah komunitas masyarakat Biak Numfor, menyadari bentuk lain bahasa Melayu yang dituturkan oleh orang-orang Biak Numfor. Seorang navigator Inggris, Thomas Forrest (1729-1802), sewaktu mengunjungi Doreri, Manokwari pada 1775, ia bertemu dengan seorang Urbasa (Juru Bahasa) orang Numfor Doreri yang bernama Mambeway. Pada pertemuan mereka, Thomas mengatakan Mambeway yang disebut Yowel berbicara bahasa “Broken Malay”.

Tidak ada garis waktu yang pasti untuk menentukan kapan bahasa Melayu Biak ini terbentuk. Penulis menggali ke beberapa catatan tahun 1700-an, ternyata bahasa Melayu dengan bentuk khas yang dituturkan oleh orang Biak Numfor sudah terekam jejaknya. Kemungkinan bahasa Melayu Biak mulai berkembang sejak 1600-an, dimana fase waktu ini menunjukkan kegiatan dagang orang Biak Numfor ke berbagai wilayah di Indonesia Timur seperti di Maluku dan sekitarnya.

Bentuk khas bahasa Melayu yang dituturkan oleh komunitas orang Biak Numfor ini menyulitkan orang-orang Eropa yang pertama kali datang ke Papua. Mengapa mereka sulit memahami bahasa ini? Salah satu alasannya adalah bahasa Melayu yang mereka pelajari berbeda dengan bahasa Melayu yang ada di tanah Papua. Kebanyakan mereka menggunakan bahasa Melayu yang dituturkan di Indonesia bagian Barat, dimana ada keberagaman bahasa Melayu pada masa lalu. 

Post a Comment for "Sejarah Bahasa Melayu Biak di Tanah Papua"