MANBEFOR, MANBESAK: Burung Cenderawasih - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MANBEFOR, MANBESAK: Burung Cenderawasih

  

Cenderawasih, mambesak, mambefor
Cenderawasih Jantan & Betina

Sistem penulisan dalam abjad latin adalalah Manbesak [Man-b/ve-sak] atau Manbefor [Man-b/ve-for], kedua nama ini di baca Mambesak dan Mambefor.  Man: burung, be:yang, sak, for:nyala, api. Sehingga dapat di artikan secara harfiah burung yang bernyala, burung yang berapi atau mengeluarkan sinar atau nyala api.  Manbefor Snoman (jantan), Manbefor Bin (betina).

Banyak pujian suku Bangsa, bukan karena kecantikannya, bukan karena disebut burung surga, tetapi dikagumi karena menjadi penari terbaik yang tiada duanya. Burung ini memberikan seberkas cahaya kehidupan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari seni kehidupan, yang turut mempengaruhi kehidupan manusia Papua (Niuw-Guinea), burung ini memanjakan setiap ’retina mata’ orang Papua. Alamnya, manusianya, kehidupan tumbuhan, binatang telah menghipnotis para Pelaut Ulung, Pedagang Keliling, Pencinta Seni, bahkan para Peneliti  berkelana melakukan perjalan mengarungi lautan yang jauh hanya untuk menemukan burung yang dinobatkan dengan banyak ’Nama ini’. 

Tak lekang oleh waktu, ratusan tahun yang lalu (1400-1900) orang-orang Eropa membahasnya karena keunikannya yang luar biasa, mereka menyangka burung ini tidak memiliki kaki dan sepanjang hidupnya burung ini hanya beterbangan di udara dan tak pernah menyentuh muka bumi. Alangkah kelirunya gagasan mereka, termakan mitologi dan kepercayaan pada masa silam, membuat mereka kebingungan, selain itu penulis-penulis Eropa belum mendapat gambaran dan informasi sesungguhnya tentang bentuk burung Cenderawasih.   

Seorang pedagang Venesia bernama Niccolò de 'Conti (1395-1469 M) yang tinggal selama sembilan bulan di Jawa, dia menceritakan bahwa,  ”Anda dapat menemukannya di Jawa, seringkali burung yang tidak memiliki kaki, dengan bulu yang sangat halus dan ekor yang panjang”. Sebenarnya dia sedang merujuk pada burung Cenderawasih yang memiliki ciri-ciri demikian. Yang pada waktu itu orang Papua dan orang Maluku, memotong kakinya.  

Mungkin terlintas dalam benak kita, dari mana asal-usul nama Cenderawasih, nama yang kita kenal dewasa ini. Apakah nama tersebut merupakan nama yang sudah dikenal sejak lampau? Jauh sebelum bangsa Eropa memulai pelayaran mengelilingi Dunia khususnya berdatangan ke kepulauan Nusantara dan lebih khususnya lagi ke Papua, orang-orang Papua dan orang-orang kepulauan Aru (Maluku) telah melakukan barter dengan suku-suku lain di kepaulaun Nusantara—Melayu, Jawa, Bali, dll. Perdagangan antar jalur laut itu telah mengantarkan mereka untuk saling berkomunikasi antara satu sama lain sambil memperkenalkan bahasa-bahasa suku mereka.

Dalam catatan-catatan tahun 1700-1800 M, rupanya nama-nama yang digunakan untuk merujuk kepada burung Cenderawasih bisa terdeteksi dan menambah pemahaman kita bahwa sejak lampau mereka tidak mengenal sebutan atau nama  “Cenderawasih”.  Meskipun nama Cenderawasih begitu tereknal di abad ke – 21 ini, kita perlu menyelam ke abad-abad sebelumnya untuk melihat bagaimana burung itu, memiliki nama-nama yang hingga kini dilupakan banyak orang.

Orang-orang zaman dulu tidak menyebut “Cenderawasih” sebab hampir semua suku di Nusantara mengenalnya dengan nama ”Manuk Dewata” yang berarti ”Burung Surga atau Burung Para Dewa”. Hal ini dapat dibenarkan sebab sebelum tahun 1598 Masehi, para pedagang Melayu sudah menyebutnya nama Manuk Dewata (Birds A Monthly Serial, Volume III, 1897:140). Kata “Manuk” sendiri berasal dari suku-suku Nusantara berbahasa Austronesia seperti Batak, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Buton, serta suku-suku lainnya. (C. P.G. Scott, 1897:76) Sedangkan kata “Dewata” berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti “Dewa”  (Crawfurd, 1850:182).  Buku yang diterbitkan tahun 1777 berbahasa Belanda, Vaderlandsche letter-oefeningen of tijdschrift van kunsten en.., Volume 2, hal. 101-104, dicatat bahwa ”Manocodiata [Manuk Dewata]”, selain itu disebut juga ”Burung-Arou”, sebab di pulau Aru, habitat burung Cenderawasih juga ada disana.

Burung Cenderawasih merupakan symbol penting dalam kehidupan orang Bali. ”Pada tubuh bade seorang lelaki berdiri, mengawal jenazah. Satu tangannya memegang erat tiang bade agar tidak jatuh, satu tangannya lagi membawa tongkat yang bermahkotakan seekor burung Cenderawasihyang diawetkan, tentu. Burung itu dijuluki Manuk Dewata, konon jenis burung yang bisa mondar-mandir di dua dunia: yang fana ini, dan dunia surga-neraka. Cenderawasih itulah yang akan menuntun sang atma pergi ke dunia lain, agar tidak kesasar. Ini legenda yang hidup di Bali, walaupun burung Cenderawasih tak pernah hidup di Bali, apalagi di kampung sayaentah kalau beratus tahun yang lalu”.   (Putu Setia, 1986:42). Kemungkinan orang Bali mendapat pasokan burung Cenderawasih dari para pelaut-pelaut asli Papua yang telah melakukan pelayaran sampai di Jawa, Bali, Timor dan Bima (Jacky Doumenjou, 2011:130). 

Selain nama ”Manuk Dewata”, nama “Manbefor” atau “Manbesak” dalam bahasa Biak rupanya sudah digunakan sejak berabad-abad yang lalu oleh orang Papua dan kemungkinan dikenal juga oleh pedagang-pedagang Nusantara yang sudah melakukan kongsi dagang bersama orang Papua (Biak).  Makna dari kedua nama Manbefor atau Manbesak memiliki pengertian yang sama yaitu burung yang bernyala, burung yang bersinar, atau burung yang mengeluarkan api.  Secara etimologi kata ”Man” mengartikan burung, unggas sedangkan ”befor/besak” mengartikan ”yang bernyala atau nyala api” yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia  berarti “burung Api”. Mengapa dinamakan demikian? Karena sewaktu mengamati bulu burung Cenderawasih jantan, beragam nuansa warna warna alamianya memancarkan warna seperti nyala api, seperti warna sinar matahari. Sehingga secara harfiah burung dapat diterjemahkan ”burung api” atau burung yang memancarkan sinar.

Catatan mengenai burung Cenderawasih dalam bahasa Biak bisa terlihat dalam catatan perjalanan Thomas Forrest pada tahun 1775.  Thomas mencatat beberapa kosa kata bahasa Papua (bahasa Biak sekarang) yang dia dengar dari penduduk Waigeo dan Dorei. Dalam catatan daftar kata tersebut dia menulis ”Mandefor” (Thomas Forrest, 1779:13) atau  ”Manbefore” (Crawfurd, 1850:182). Selain tulisan Thomas, seorang naturalis Prancis, Georges Louis Leclerc, Comte de Buffon, dalam karyanya Histoire Naturelle, Generale Et Particuliere. Des Oiseaux, Tome Quarante-Troisieme, juga menyebut tentang nama yang digunakan oleh orang Papua dan suku-suku Nusantara lainnya yaitu mereka menyebut ”burong Papua”. (Geores Louis Leclerc, 1798:541).

”Orang-orang Melayu dan Jawa, yang melakukan perdagangan membawa pulau-pulau pada kedatangan orang-orang Eropa di Timur, memberi burung-burung ini nama mereka sendiri, yang tidak mengesankan orang asli. Dalam bahasa orang Negro Papua, yang menangkap dan memelihara burung-burung ini, mereka disebut Manbefor. Sepasang burung Cendrawasih yang dibawa pulang oleh teman-teman Magellan setelah perjalanan keliling dunia yang pertama, dan disajikan kepada Charles ke-5, adalah yang pertama dibawa ke Eropa. Ini terjadi pada 1522.” Tulis John Crawfurd dalam jurnal On The Word Introduced Into The English From The Malay, Polynesian And Chinese Languanges. (Crawfurd, 1850:182-183).

Post a Comment for "MANBEFOR, MANBESAK: Burung Cenderawasih"