Alfred Russel Wallace dan Ukiran Biak Numfor - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Alfred Russel Wallace dan Ukiran Biak Numfor

  

Ukiran Biak
Alfred Russel Wallace (1823-1913)


Alfred Russel Wallace (1823-1913) adalah naturalis sekaligus penjelajah, geografer, antropolog, biolog, dan ilustrator berkebangsaan Inggris yang juga mencetuskan teori evolusi lewat seleksi alam. Karya-karya dikenal luas oleh para cendekiawan pada masanya. Tak heran karya-karyanya juga menjadi inspirasi bagi Charles Darwin. Wallace juga yang melihat perbedaan wilayah geografi hewan atau corak flora dan fauna Asia dan Australia. Garis ini berhubungan dengan pembagian spesies-spesies khususnya di bagian Nusantara. Maka garis itu belakangan dinamakan sesuai namanya yang disebut garis Wallace.

Pada abad ke-19, Wallace mengunjungi Nusantara. Pada tahun 1858, dia mengunjungi tanah Papua untuk melakukan penelitiannya di sana. Rupanya pengamatannya tentang seni di teluk Saireri mengubah cara pandangnya tentang kehidupan orang Papua sesungguhnya. 

Kesenian teluk Cenderawasih (saireri) memiliki keunikan dan warna seni tersendiri. Sejak lama orang-orang teluk Saireri mengembangkan seni-seni ornamen khas yang memiliki arti dalam tradisi dalam kebudayaan mereka. Ukiran-ukiran pada patung, perahu, rumah, alat dapur, dan berbagai perlengkapan tradisional memperlihatkan tentang indahan dalam seni orang Papua. 

Wallace sangat simpati dan terkesima akan kesenian orang Papua, membuat dia harus belajar tentang sesuatu yang baru. Ini terlihat dalam kata-katanya yang ditulis dalam bukunya. Waktu di teluk Doreri dia melihat desain motif-motif ukiran pada perahu Wairon (Tababeri) dan Mansusu. Para pengukir di Doreri memberikan sebuah gambaran melalui seni akan kehidupan orang Papua pesisir tentang budaya dan adat istiadat mereka yang terekam dalam berbagai goresan tangan.  

Dalam bukunya dia menulis, "Sungguh mengejutkan bahwa kecintaan mendasar pada seni harus hidup berdampingan dengan peradaban yang begitu rendah. Orang Dorey (Manokwari) adalah pematung dan pelukis hebat. Bagian luar rumah, di mana pun ada papan, ditutupi dengan sosok-sosok kasar namun khas. Haluan perahu mereka yang tinggi dihiasi dengan banyak karya ukiran kerawang terbuka, dipotong dari balok kayu solid, dan seringkali dalam desain yang sangat berselera tinggi. Sebagai figur kepala, atau jambul, sering ada sosok manusia, dengan kepala bulu kasuari untuk meniru "leluhur" Papua. Pelampung pancing mereka, pengocok kayu yang digunakan untuk menggiling tanah liat untuk tembikar mereka, kotak tembakau mereka, dan barang-barang rumah tangga lainnya, ditutupi dengan ukiran dalam desain yang berselera tinggi dan seringkali elegan. Seandainya kita tidak tahu bahwa selera dan keterampilan seperti itu cocok dengan barbarisme total, kita hampir tidak bisa percaya bahwa orang yang sama, dalam arti lain, mendambakan ketertiban, kenyamanan, atau kesopanan".The Malay Archipelago, 1885. Hal. 511, Par. 2

Alfred Wallace tidak habis pikir mengapa orang-orang yang dilihatnya tampaknya memiliki peradaban yang rendah dan barbar, tetapi bisa memiliki seni yang sungguh luar biasa indah. Dari kata-kata ataupun tulisan Alfred Wallace ini, kita bisa melihat bahwa dia menganggap peradaban orang Papua itu sangatlah rendah, namun pikiran negatifnya itu berubah seketika ketika melihat kemampuan seni ornamen yang elegan dari tangan orang Papua. Ini menjadi sebuah pelajaran penting bahwa tidaklah selalu peradaban yang kita anggap rendah tidak memiliki kemampuan daripada yang kita anggap lebih maju selalu yang terbaik tanpa melihat hal baik pada setiap orang tidak soal status sosial, budaya, adat dan latar belakangan mereka.    

Ukiran teluk Cenderewasih telah dikenal akan keindahan selama berabad-abad. Ukiran-ukiran mereka bisa kita jumpai dalam berbagai media. Misalnya, pada perahu, bantal kayu, patung, dan alat-alat yang mereka gunakan dalam aktifitas sehari-hari.  

Dia bukanlah orang pertama yang mengamati tentang ukiran teluk Cenderawasih. Banyak penjelajah di masa lalu sangat terkesan dengan ukiran-ukiran teluk Cenderawasih. Banyak yang diangkut dan diperdagangkan di masa lalu. Kini, harganya pun terbilang mahal. Di banyak museum dan para kolektor di luar negeri maupun dalam negeri kita masih bisa menemukan karya-karya pengukir tempo dulu.  

Meskipun para pengukir-pengukir itu dan Alfred Wallace telah tiada, namun karya dan catatan tentang mereka dapat dibaca hingga hari ini. Seni itu selalu hidup berdampingan dan tak pernah berpisah dari kehidupan manusia, seni telah menjadi inspirasi bagi manusia, seni menggambarkan sifat manusia, keinginan, perasaan, rasa dan tentang berbagai hal yang dilukis dan dipahat pada berbagai objek dan ornamen tertentu. 

Sampai saat ini, ukiran Biak masih tetap terpelihara, masih ada para pengukir-pengukir dari teluk Cenderawasih yang tetap eksis. Meski demikan, kebutuhan akan seni ukiran ini berbeda dengan yang dilakukan pada kini. Orientasi pembuatan ukiran pada masa kini hanya sebatas pada karya seni. Sebagai dekorasi, sebagai oleh-oleh, sebagai benda pajangan rumah dan diperkantoran, hotel, sekolah dan tempat-tempat yang membutuhkan karya seni. 

Nah, hal ini berbeda pada jaman dulu. Di masa lalu, ukiran memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial misalnya ukiran itu digunakan sebagai lambang atau tulisan yang memiliki makna-makna tertentu. Ukiran juga dikaitkan dengan kepercayaan leluhur seperti patung Korwar (amfyanir), ukiran juga digunakan sebagai mas kawin, digunakan sebagai barang barter, dan masih banyak sekali fungsinya pada zaman dulu. Memang, fungsi ukiran kini tidaklah sama seperti pada zaman dulu, namun ukiran masih menjadi hiasan yang elegan dan berseni di abad ke-21 ini. 

Post a Comment for "Alfred Russel Wallace dan Ukiran Biak Numfor"