MENCARI CINTA SEJATI DI TELUK SAIRERI - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENCARI CINTA SEJATI DI TELUK SAIRERI

Manso pencari cinta sejati


KALA itu, musim ombak di bulan Desember di tahun 1630 M, di hari ke 3. Seorang pemuda yang lumayan ganteng, berperawakan pendek, dan polda (poro lambung dada) duduk disudut pantai pasir putih di Biak, sambil merenung, Ia bertanya dalam hatinya, ’Apakah ia akan menemukan cinta sejatinya?’ Jika, iya dimanakah ia dapat menemukannya?’ Hari-hari yang ia lalui, tak membuatnya berbahagia. Apalagi ia mulai beranjak kepala 3 ia semakin gelisah tak menentu. Di kampungnya tak ada satupun wanita yang suka, apalagi cinta padanya. Pikiran yang negatif tentang dirinya sendiri, membuat dia menahan niatnya untuk mencari cinta sejati di kampung sendiri.

Pemuda itu bernama Mansorawundi, sebab ibunya melahirkan dia di depan haluan perahu, sehingga ayahnya memberi nama itu untuknya, di kampungnya orang biasa memanggilnya “Manso”. Manso bukanlah seorang Manbri, tapi seorang pria pekerja keras yang hari-harinya dia habiskan hanya untuk berkebun dan berburu, dia sayang keluarganya.  Memasuki tahun 1633, Ayah dan Ibunya yang sudah menua, merasa prihatin kepada sang anak yang tak kunjung menemukan cinta sejati.

Sang Ayah berkata kepada Manso, “Anak! Bapa ini su tua, Bapa deng Mama ingin ko lagi dapat istri, biar kalo Bapa dengan Mama su pergi, setidaknya tong dua tersenyum lihat ko bahagia. Sebab Bapa lihat setiap hari kopu muka itu murung trus!”.

Manso pun berkata kepada Ayahnya, “Bapa, sa su tanya-tanya perempuan disini, tapi macam dong tra suka saya. Ada yang sa su dekati, tapi ternyata de itu sudah milik orang lain.” Kata-kata Manso membuat Ayahnya sedih memikirkan anaknya. Ayahnya pun berkata, “Manso kalo memang ko sanggup, ko dayung ke pulau Yapen, dulu Bapa punya cinta pertama di sana. Tapi, Bapa tong dua pu hubungan harus berakhir karena dong su jodohkan dia dengan orang lain. Waktu tong dua mau berpisah, Tanta di Yapen ini bilang sama Bapa, kalau ko dapat anak laki-laki dan sa dapat anak perempuan tong dua jodohkan dong dua. Jadi, kalo bisa kosiap semua perbekalan  dan perahu trus ko dayung ke Yapen.”

Setelah mendengar kata-kata sang Ayah, rupanya ada semangat dalam jiwa dan batin Manso. Manso merasa bahwa pasti ia akan menemukan cinta sejatinya di pulau Cenderawasih itu. Tepat hari ke 7 bulan ke 3, tahun 1634, Manso memulai perjalanan cintanya mengarungi lautan Saireri yang luas dan menakutkan menuju Myos Arwa (pulau Yapen). 

Dengan keberaniannya, diapun terus berlayar hingga memasuki perairan kepulaun Yapen. Kebahagiaan menyelimuti wajah dan hatinya, seolah-seolah gadis cantik sudah ada di depan matanya. Iyapun terus mendayung sekuat-kuatnya, tanpa memandang risiko yang akan segera menimpanya.

Tiba-tiba! Manso dikejar pria-pria berperawakan tinggi besar dan berotot lengkap dengan persejataan anak panah, mereka mendayung secepat kilat dan mendekati Manso. Semua mata panah mengarah kepadanya. Manso pun menyerahkan diri tanpa perlawanan. Kedua kakinya dikunci pasak kayu yang bisanya digunakan untuk menangkap budak. Manso seperti tak ada harapan lagi, dia bukannya jatuh cinta malah  jatuh di tangan bajak laut. 

Manso ditawan dan menjadi budak untuk siap dijual.  Seakan tak ada harapan  lagi, pupus, cinta dan harapan itu seperti burung Kuning yang terbang menjauh dari Manso, cinta seakan tak berarti lagi. Beberapa minggu kemudian, Manso dibawa ke Waropen, dia akhirnya menjadi milik sang tuan tanah yang disegani di Waropen. Dia bekerja untuk tuannya dengan sepenuh hati dan selalu menjadi andalan sang tuannya. 

Hari-hari berlalu, tahun-tahunpun berlalu, masih saja terekam dalam ingatan Manso sosok Ibunda wanita Yapen itu. Manso ingin sekali mengikuti amanat Ayahnya untuk bertemu dengan sang Ibunda, cinta pertama Ayahnya. Manso juga sempat diberikan gelang oleh ayahnya. Itu adalah gelang "Sarak (Saparo)" milik ibunda dari Yapen itu.  

Tanpa disadari, Manso diperhatikan oleh seorang wanita cantik, yang adalah anak dari sang tuannya. Meskipun Manso adalah seorang budak, sang wanita tak mamandang statusnya tapi memandang kebaikan dan kerja kerasnya.

Manso tak menyadari sedikitpun kalau dia disukai sang wanita majikannya. Gadis manis itu, terus mencari perhatian Manso, hati kecilnya pun mulai merasakan benih-benih cinta dalam dirinya. Apa mungkin sang wanita ini mencintainya dengan tulus? Ingatan Manso masih saja mengingatkannya pada pesan ayahnya untuk pergi ke Yapen mencari seorang ibu yang pernah berjanji kepada Ayahnya itu. Meskipun cinta sejati sudah di depan mata. Manso sepertinya tak merespon, karena masih mengingat pesan orang tuanya. 

Sang gadis cantik itu terus memaksa orang tuanya untuk harus menikahkan dia dengan Manso, sang budak itu. Namun, permintaannya itu sia-sia, apalagi ibunya sangat tidak setuju. Di depan Manso, ibu majikannya mengatakan, “Manso, ko ingat! Ko itu budak, ko jangan coba-coba dekati sapu anak perempuan”.

Lama-lama, Manso mulai jatuh hati kepada sang gadis Mosaba. Tanpa sepengetahuan orang tua sang gadis. Manso selalu mencari kesempatan untuk selalu bersama-sama dengan putri cantiknya. Keduanya saling cinta, saling sayang. Sayangnya, orang tua sang gadis sama sekali tidak setuju, apalagi ibunya yang sangat membenci Manso. Kemudian hari cinta rahasia mereka tercium juga  dan terbongkar!

Ibu sang putripun meledak emosinya, waktu itu musim hujan, sang Ibu majikan memanggil Manso untuk menegaskan kembali lagi bahwa ia sebenarnya tidak suka Manso mencitai putrinya. Jika Manso terus berkeras iya akan dibunuh. Manso pun jujur mengatakan apa adanya.

Manso memanggil sang ibu dalam ungkapan bahasa Waropen, "Naina (Ibu)" jujur sa cinta kopu anak perempuan. Sa rela mati demi sapu cinta. Sapu tujuan awal sebenarnya mau ke pulau Yapen untuk cari Tanta di pulau Yapen. Karena Bapa pesan bahwa dia punya cinta pertama ada disana, dan kalo Bapa punya cinta pertama ini, ada anak perempuan sa akan kawin dengan dia. Tapi belum masuk di pulau Yapen, sa su dapat tangkap sebagai budak, dan akhirnya sa disini." 

Sambil berbicara Manso pun mengeluarkan gelang Samfar pemberian ayah, itu merupakan tanda cinta antara Ayahnya dan sang Wanita Yapen, yang waktu itu ketika berpisah  mereka saling bertukar. Manso menunjukkan gelang itu kepada Ibu Majikannya. 

Ketika melihatnya, Ibu majikannya pun menangis terseduh-seduh. Iya mengambil gelang itu dari tangan Manso sambil menciumnya, menangis dan memeluk Manso erat-erat. Dia pun berkata kepada Manso sambil menangis, "Orang yang selama ini ko cari itu saya?" Sa ini perempuan Serui, waktu kopu Bapa tong dua pisah sa pulang kawin di Waropen. Sa kira ko itu siapa, padahal ko itu sapu cinta pertama punya anak. Hari ini juga Mama setuju ko kawin dengan sapu anak perempuan. Dan itu juga sudah sesuai janji bapa tong dua bahwa kelak tong dua punya anak akan dijodohkan."

Manso sama sekali tak berpikir bahwa dia akan menemukan cinta sejatinya, bukan di Yapen, tapi Waropen. Janji cinta ayahnya pun terwujud. Manso sangat bahagia karena dia telah benar-benar menemukan cinta sejati.

Post a Comment for "MENCARI CINTA SEJATI DI TELUK SAIRERI"