CENDERAWASIH BURUNG YANG MENDUNIA
Lukisan burung Cenderawasih tahun 1700-an Sumber: geheugen.delpher.nl |
Banyak pujian suku Bangsa, bukan karena kecantikannya, bukan karena disebut burung surga, tetapi dikagumi karena menjadi penari terbaik yang tiada duanya. Burung ini memberikan seberkas cahaya kehidupan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari seni kehidupan, yang turut mempengaruhi kehidupan manusia Papua (Niuw-Guinea), burung ini memanjakan setiap ’retina mata’ orang Papua. Alamnya, manusianya, kehidupan tumbuhan, binatang telah menghipnotis para Pelaut Ulung, Pedagang Keliling, Pencinta Seni, bahkan para Peneliti berkelana melakukan perjalan mengarungi lautan yang jauh hanya untuk menemukan burung yang dinobatkan dengan banyak ’Nama ini’.
Tak lekang oleh waktu, ratusan tahun yang lalu (1400-1900) orang-orang Eropa membahasnya karena keunikannya yang luar biasa, mereka menyangka burung ini tidak memiliki kaki dan sepanjang hidupnya burung ini hanya beterbangan di udara dan tak pernah menyentuh muka bumi. Alangkah kelirunya gagasan mereka, termakan mitologi dan kepercayaan pada masa silam, membuat mereka kebingungan, selain itu penulis-penulis Eropa belum mendapat gambaran dan informasi sesungguhnya tentang bentuk burung Cenderawasih.
Seorang pedagang Venesia bernama Niccolò de 'Conti (1395-1469 M) yang tinggal selama sembilan bulan di Jawa, dia menceritakan bahwa, ”Anda dapat menemukannya di Jawa, seringkali burung yang tidak memiliki kaki, dengan bulu yang sangat halus dan ekor yang panjang”. Sebenarnya dia sedang merujuk pada burung Cenderawasih yang memiliki ciri-ciri demikian. Yang pada waktu itu orang Papua dan orang Maluku, memotong kakinya.
Mungkin terlintas dalam benak kita, dari mana asal-usul nama Cenderawasih, nama yang kita kenal dewasa ini. Apakah nama tersebut merupakan nama yang sudah dikenal sejak lampau? Jauh sebelum bangsa Eropa memulai pelayaran mengelilingi Dunia khususnya berdatangan ke kepulauan Nusantara dan lebih khususnya lagi ke Papua, orang-orang Papua dan orang-orang kepulauan Aru (Maluku) telah melakukan barter dengan suku-suku lain di kepaulaun Nusantara—Melayu, Jawa, Bali, dll. Perdagangan antar jalur laut itu telah mengantarkan mereka untuk saling berkomunikasi antara satu sama lain sambil memperkenalkan bahasa-bahasa suku mereka.
Dalam catatan-catatan tahun 1700-1800 M, rupanya nama-nama yang digunakan untuk merujuk kepada burung Cenderawasih bisa terdeteksi dan menambah pemahaman kita bahwa sejak lampau mereka tidak mengenal sebutan atau nama “Cenderawasih”. Meskipun nama Cenderawasih begitu tereknal di abad ke – 21 ini, kita perlu menyelam ke abad-abad sebelumnya untuk melihat bagaimana burung itu, memiliki nama-nama yang hingga kini dilupakan banyak orang.
Orang-orang zaman dulu tidak menyebut “Cenderawasih” sebab hampir semua suku di Nusantara mengenalnya dengan nama ”Manuk Dewata” yang berarti ”Burung Surga atau Burung Para Dewa”. Hal ini dapat dibenarkan sebab sebelum tahun 1598 Masehi, para pedagang Melayu sudah menyebutnya nama Manuk Dewata (Birds A Monthly Serial, Volume III, 1897:140). Kata “Manuk” sendiri berasal dari suku-suku Nusantara berbahasa Austronesia seperti Batak, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Buton, serta suku-suku lainnya. (C. P.G. Scott, 1897:76) Sedangkan kata “Dewata” berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti “Dewa” (Crawfurd, 1850:182). Buku yang diterbitkan tahun 1777 berbahasa Belanda, Vaderlandsche letter-oefeningen of tijdschrift van kunsten en.., Volume 2, hal. 101-104, dicatat bahwa ”Manocodiata [Manuk Dewata]”, selain itu disebut juga ”Burung-Arou”, sebab di pulau Aru, habitat burung Cenderawasih juga ada disana.
Selain nama ”Manuk Dewata”, nama “Manbefor” atau “Manbesak” dalam bahasa Biak rupanya sudah digunakan sejak berabad-abad yang lalu oleh orang Papua dan kemungkinan dikenal juga oleh pedagang-pedagang Nusantara yang sudah melakukan kongsi dagang bersama orang Papua (Biak). Makna dari kedua nama Manbefor atau Manbesak memiliki pengertian yang sama yaitu burung yang bernyala, burung yang bersinar, atau burung yang mengeluarkan api. Secara etimologi kata ”Man” mengartikan burung, unggas sedangkan ”befor/besak” mengartikan ”yang bernyala atau nyala api” yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti “burung Api”. Mengapa dinamakan demikian? Karena sewaktu mengamati bulu burung Cenderawasih jantan, beragam nuansa warna warna alamianya memancarkan warna seperti nyala api, seperti warna sinar matahari. Sehingga secara harfiah burung dapat diterjemahkan ”burung api” atau burung yang memancarkan sinar. Sistem penulisan dalam abjad latin adalalah Manbesak [Man-b/ve-sak] atau Manbefor [Man-b/ve-for], kedua nama ini di baca Mambesak dan Mambefor.
Post a Comment for "CENDERAWASIH BURUNG YANG MENDUNIA"