PERDAGANGAN TRADISIONAL ANTARA ORANG ANSUS YAPEN DAN ORANG NUMFOR - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PERDAGANGAN TRADISIONAL ANTARA ORANG ANSUS YAPEN DAN ORANG NUMFOR

 

Orang Ansus Yapen

Orang Ansus Yapen, tahun 1900-an.
sumber: KITLV 90839


HUBUNGAN ORANG ANSUS DAN NUMFOR 

Orang Ansus dari kepulauan Yapen Barat, sudah sejak lama melakukan kontak dagang, pelayaran dan hubungan perkawinan dengan penduduk asli pulau Numfor di mana kedua tempat ini berada di teluk Cenderawasih, Papua. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan hubungan itu ada, namun menurut F.S.A. De Clercq pada masa Kurabesi, hubungan itu telah ada (De Clercq, 1893:166). Periode Kurabesi hidup sekitar tahun 1500-an. Kedua kelompok suku ini telah membentuk sebuah ikatan dagang, pertemanan, perkawinan, kekerabatan untuk membina hubungan kedua belah pihak. 

Di masa lalu hubungan tersebut terus terpelihara untuk saling membantu dalam masa-masa sulit. Orang Numfor akan melakukan pelayaran ke kampung Ansus. Begitupula orang Ansus pun akan berlayar ke Numfor. Orang Ansus maupun orang Numfor adalah suku yang sudah sejak lama dikenal oleh para penjelajah asing. Sumber-sumber tertulis tahun 1800-1900-an, banyak memuat tentang kedua suku tersebut. Kemudian hubungan keduanya, tidak saja ditulis tetapi ada juga dalam berbagai cerita tutur keret-keret dari suku Biak maupun dari keret-keret orang Ansus. 

Orang Ansus menggunakan perahu mereka yang disebut Wa Baba untuk melakukan perjalanan jauh. Sebelum melakukan perjalanan panjang, orang Ansus menggunakan kalender tradisional mereka yang disebut Kong, yaitu seutas tali yang dibuatkan simpul untuk menentukan hari, minggu, bulan bahkan tahun. Ini penting dalam perjalanan panjang dan berbahaya. Dan cara-cara tradisional demikian menunjukkan pada waktu itu mereka menganggap waktu itu penting, dan tidak bermain-main dengan waktu. Mereka juga menerapkan disiplin diri. Ikatan kedua suku tersebut, berperngaruh besar terhadap bahasa yang digunakan. Adanya kesamaan bahasa antara kedua penduduk tersebut. 

Dalam perjalanan mereka akan membawa barang-barang yang akan ditukarkan dengan penduduk Numfor biasanya berupa bahan makanan seperti sagu serta barang-barang lainnya. Perjalanan dagang ini juga dilakukan oleh orang Numfor yang akan pergi ke Ansus dengan perahu Mansusu atau perahu Tababeri (Wairon). Kedua kelompok suku tersebut akan saling barter. Misalnya karena pulau Numfor penghasil kacang dan milet gandum, akan dibarter dengan penduduk Ansus. Sehingga sumber pangan dan kebutuhan akan makanan lainnya bisa dinikmati bersama. 

Selain hubungan mereka dengan orang Nupowai, orang Ansus juga menjalin hubungan kerja sama dengan orang Roon. Tampaknya, dulu orang Ansus juga berbicara bahasa Numfor dan bahasa Roon. Sehingga pengorganisasian dan komunikasi bisa berjalan dengan baik. Dalam laporan-laporan para penjelajah, bahwa sejumlah perahu orang Ansus pergi ke Roon kemudian mereka bergabung untuk melakukan penangkapan budak. 

Orang Ansus dulu dikenal juga sebagai bajak laut dari teluk Cenderawasih. Mereka ini bahkan telah sampai di kepulauan Maluku.  Tidak heran, kepala-kepala kampung Ansus juga menggunakan gelar-gelar seperti Kapitein Laut, Korano, Sengajdi, Mayor, dan Sawai.  Dalam perjalanan jarak jauh para penjelajah orang Ansus, melestarikan ingatan perjalanan jauh mereka dengan cara membuat tanda-tanda pada tubuh mereka. Kebiasaan ini juga berlaku untuk orang-orang teluk Cenderawasih lainnya.   

PUSAT PERDAGANGAN TRADISIONAL DI YAPEN

Di masa lalu, kampung Ansus merupakan tempat atau pusat perdagangan tradisional utama di pulau Yapen. Banyak komoditas diperdagangkan di tempat ini. Misalnya, damar (copal) yang produksinya sangat menguntungkan, bulu burung Cenderawasih, bahan pokok, dan barang-barang bernilai lainnya. Salah satu bahan pokok yang diproduksi masyarakat Ansus adalah sagu. Produksi pati sagu basah yang kemudian diperdagangkan (barter) sangat besar jumlahnya. Itu sebabnya banyak diperdagangkan dengan orang-orang Teluk Cenderawasih seperti orang Numfor dan Biak. 

Catatan F.S.A. De Clercq seorang penulis dan resident Ternate, yang hidup pada tahun 1800-an menjelaskan hubungan dagang tersebut. Dia menulis bahwa, Orang Numfor mendapat sagu dari Ansus, Ron dari Wandamen, Dore [Manokwari] melalui perantara orang-orang dari Ron atau bukit Tafref”.De West- en Noordkust Van Nederlandsch Nieuw-Guinea, 1893, hal. 607.

Di pulau Numfor sendiri bukan tempat penghasil patih sagu, di sana tidak terdapat hutan sagu yang luas seperti di pulau Yapen, Waropen dan Biak, sehingga merereka harus bergantung pada tempat-tempat penghasil patih sagu. Ketergantungan antara suku yang satu dengan suku yang lain, membuat mereka hidup dan saling melengkapi kebutuhan dasar hidup mereka. Dan sistem ini dilebur lagi lebih jauh yang disebut Manibob dalam bahasa Biak. Sebuah sistem yang memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, hubungan manibob ini bisa berjalanan sekian lama, di mana kedua belah pihak akan terus saling mengunjungi pada suatu tempat yang sudah ditetapkan berdasarkan penanggalan tradisional. Hubungan-hubungan seperti ini juga mencegah mereka untuk terlibat dalam pertikaian. Sebaliknya, membuat mereka untuk bersekutu, saling membantu dan bersama-sama menyerang kelompok lawan. Menjelang awal abad ke-21 ini, hubungan tersebut sudah tidak terlihat lagi. 

NUPOWAI SEBUTAN DALAM BAHASA ANSUS

Seperti sudah dijelaskan di atas, orang Ansus dan orang Numfor sudah sangat familiar dengan nama pulau Numfor. Orang Ansus punya nama khusus tentang pulau kacang tersebut. Dalam Noemfoorsch Woordenboek (kamus bahasa Numfor) 1947, karangan J.L. dan F.J.F. Van Hasselt, menyebutkan bahwa orang Ansus menyebut pulau Numfor dalam bahasa Ansus dengan sebutan Nupowai.  Bapak Saskar Paiderouw peneliti dan pemerhati suku-suku budaya Yapen, menjelaskan bahwa kata Nu Puai (Nupowai) terdiri dari dua suku kata Nu artinya tempat dan Puai artinya berlabu jauh/terpisah. 

Bisa disimpulkan Nupuai (Nupowai) berarti pulau atau tempat yang terpisah. Memang benar, pulau Numfor ini terpisah dari dua pulau besar yaitu pulau Biak dan pulau Yapen. Pulau Numfor memiliki banyak sebutan nama, berikut ini nama-nama untuk menyebut pulau Numfor: 

1. Mafor          : Sebutan orang Biak Numfor
2. Numfor       : Sebutan orang Biak Numfor
3. Poiru           : Sebutan orang Biak Numfor
4. Mios Abrui : Sebutan orang Biak Numfor
5. Nupowai     : Sebutan orang Ansus

Melihat lagi pada komunitas atau kelompok-kelompok keret atau marga-marga di kampung Ansus, bisa dilihat bahwa hubungan masa lalu telah terekam dalam jejak genetik bahwa ada klen marga-marga yang berasal dari suku Biak seperti kelompok orang Numfor, orang Doreri dan orang dari pulau Biak dan Supiori. Ini juga diperkuat dengan beberapa kosa kata bahasa Ansus yang mirip dengan bahasa Biak Numfor. 

Kisah sejarah kedua kelompok suku ini, menjadi ingatan dalam kehidupan orang Numfor maupun orang Ansus di masa lalu hingga kini. Akankah hubungan itu terjalin kembali seperti masa-masa silam? Melihat kembali masa lalu kehidupan orang-orang Papua dari teluk Cenderawasih ini, menjadi sebuah pelajaran penting bahwa setiap manusia saling melengkapi dan membutuhkan satu sama lain. Kita tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan jika hubungan itu diperlihara dan dijaga dengan baik, tentu akan menghasilkan banyak manfaat baik dari segi ekonomi, sosial serta berbagai bidang lainnya. 

Post a Comment for "PERDAGANGAN TRADISIONAL ANTARA ORANG ANSUS YAPEN DAN ORANG NUMFOR"