“RUK” SEBUTAN BAHASA BIAK UNTUK MENYEBUT KERA - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

“RUK” SEBUTAN BAHASA BIAK UNTUK MENYEBUT KERA

monyet bahasa biak
Lukisan Kera Hitam yang terdapat di Sulawesi & pulau Bacan


KERA ATAU MONYET DALAM BAHASA BIAK

Hewan-hewan yang terdapat di berbagai wilayah Nusantara sangat beragam jenisnya. Baik yang hidup di daratan maupun di lautan. kepulauan Nusantara menyimpan berbagai makluk hidup endemik. Dengan beragam keindahan ini, membuat berbagai pulau-pulau di nusantara banyak di kunjungi pelaut-pelaut bangsa lain berabad-abad lamanya. Seperti bangsa Cina, Eropa, dan berbagai suku bangsa. Kedatangan mereka dengan berbagai motif yang berbeda-beda. Keingintahuan mereka tentang negeri-negeri kaya ini, membuat mereka harus bertaruh nyawa untuk bisa menembus bumi nusantara.   

Bagian Timur Nusantara bumi Cenderawasih ini, terdapat banyak satwa endemik mulai dari berbagai jenis burung dan berbagai jenis tumbuhan. Namun, dalam wilayah penutur dan kebudayaan Biak Numfor tidak ada ada satupun monyet atau kera yang hidup di sana, entah ribuan tahun yang lalu pernah hidup atau tidak. Wilayah penutur berbahasa Biak seperti Raja Ampat, pulau Biak-Numfor (Supiori), Doreri (Manokwari) dan beberapa wilayah lainnya hewan ini tidak ditemukan disana. 

Menariknya, di dalam bahasa Biak-Numfor sendiri terdapat sebutan khusus untuk menyebut Kera atau monyet. Orang Biak Numfor menyebut kera dengan sebutan “ruk” atau eruk disebut juga Dion (Jhon beba). Cerita mengenai monyet ini banyak menghiasi cerita rakyat orang Biak Numfor, sering diceritakan kepada anak-anak usia dini sebagai cerita pengantar tidur, cerita lucu atau dongeng. Orang Biak Numfor juga menyebut Kanguru dengan sebutan Podem. Selain nama "Ruk" ada juga yang menyebutnya "Dion" sebenarnya nama ini berasal dari nama Jhon, seorang kapten kapal yang pernah masuk di Doreri dan membawa seekor monyet di kapalnya. Kemudian penduduk setempat menggunakan nama Jhon untuk menyebut monyet yang dibawanya itu, penyebutan nama Jhon akhirnya  berubah menjadi Dion, nama ini baru muncul sekitar tahun 1800-an. Yang menjadi fokus utama adalah penyebutan nama "ruk" dalam bahasa Biak, karena nama ini pasti memiliki keterkaitan dengan pelayaran suku Biak dimasa lalu maupun hubungan mereka dengan orang-orang Nusantara lainnya. 

Meskipun di wilayah lain di Papua tidak terdapat kera, di tanah Tabi, Jayapura, gunung Mher, teluk Youtefa terdapat Monyet Ekor Panjang, yang asal muasalnya belum jelas darimana asalnya. Namun, ada yang mengatakan bahwa monyet itu masuk sejak masa Perang Dunia ke-II tahun 1944. Yang diyakini dibawa oleh tentara sekutu, yang kemudian berkembang hingga saat ini. Seandainya, monyet ekor panjang ini sudah lama hidup di tanah Tabi, dan tidak di bawah masuk oleh sekutu, berarti kemungkinan orang Papua sejak lama sudah mengenal kera.   

APAKAH BERASAL DARI PULAU BACAN?

Darimanakah asal usul nama beruk (ruk)  ini? Belum pasti, darimanakah orang Biak menyerap nama tersebut. Kalau dilihat dari penggunakan nama "ruk" atau "beruk" ini berupakan bahasa Austronesia (mungkin Melayu), dimana nama ini juga digunakan untuk menyebut sejenis kera. Di wilayah nusantara lainnya seperti di Sumatera, ada spesies yang dinamakan Beruk Mentawai, Beruk Singa, Beruk Siberut.  Penggunaan nama Beruk atau Ruk ini, karena digunakan juga di wilayah nusantara lainnya. Sudah pasti ini merupakan bahasa serapan dari Melayu atau bahasa suku-suku lain di Nusantara yang di serap oleh suku Biak dimasa lalu. 

Seorang pakar kebudayaan Biak, yang juga seorang Zendeling bernama F. J. F. VAN HASSELT (1870-1939) yang pernah hidup tanah Papua, mengatakan bahwa orang Biak-Numfor pertama kali melihat Kera atau Monyet ini di “Meos Ruti” atau Myos Ruki. Meos Ruti berarti “Pulau Kera” orang Biak menyebutnya pulau Kera karena banyak terdapat kera di pulau ini.  

Nama lain “Meos Ruti” dalam bahasa Biak disebut juga “Sup Basyani”. Meos Ruti atau Sup Basyan terletak di Maluku Utara, Halmahera Selatan, yaitu pulau Bacan. Di pulau Bacan, terdapat banyak “kera hitam atau kera bacan” yang disebut penduduk lokal dengan sebutan “Yakis Bacan”. Jadi, kemungkinan orang Papua dari teluk Cenderawasih ini, mulai mengenal kera adalah melalui pelayaran-pelayaran mereka di masa lalu di Maluku (Bacan). "Dapat dipastikan bahwa sudah pada pertengahan abad ke-15 orang-orang Biak dan Numfor sampai ke barat (kepulauan Maluku), sedangkan orang-orang Biak telah mengunjungi Tidore." tulis Kamma dalam Ajaib di Mata Kita, 1981, halaman 60. 

Berbekal informasi di atas, bahwa mungkin saja tempat inilah yang dikunjungi orang Biak di masa lalu yang membuat mereka mengenal kera ini. Tapi, kalaupun orang Biak mengenal kera dari tempat ini, seharusnya mereka akan menggunakan nama setempat yaitu "yakis" sebalinya mereka malah menggunakan ungkapan bahasa Melayu yaitu "ruk" (beruk). Apa mungkin orang Bacan di masa lalu juga menyebutnya "ruk"?  

RUK DALAM KEHIDUPAN ORANG BIAK

Kehidupan orang Biak diwarnai dengan berbagai ungkapan-ungkapan peribahasa atau perumpamaan untuk menegur, mengajarkan, mendidik seorang untuk mengerti suatu nasihat atau ajaran. Kera merupakan binatang yang sering di pakai orang Biak dalam menegur atau memberi nasihat. Pemerhati bahasa Biak, Bapak Malex Kmur, menjelaskan salah satu ungkapan bahasa Biak tentang "ruk". "Au ma rya Ruk ri sau, artinya kau itu seperti ruk (kelakuanmu seperti ruk. Ruk berarti kera konotasi dalam bahasa Biak memaksudkan orang yang suka merampas tanpa meminta baik-baik". 

Ungkapan-ungkapan demikian tentu memberikan nilai positif dalam hal pengajaran agar sifat kita jangan seperti seekor kera. Pada suku-suku lain di nusantara mereka menggunakan kera dalam aktifitas mereka sehari-hari misalnya untuk memetik buah kelapa, memanjat pohon, digunakan dalam pertunjukkan permainan dan masih banyak lagi. 

Ada satu cerita tentang Monyet yang di catat oleh F. J. F. Van Hasselt dalam bahasa Biak, dalam bahasa Indonesia ceritanya seperti ini: Suatu hari Dion (monyet) pergi ke laut untuk mencari ikan dan kerang. Monyet menangkap emberof (polip laut), polit adalah sejenis hewan laut yang membentuk terumbu karang. Polip melingkar pada tubuh monyet dan merekat padanya, monyet tidak bisa melarikan diri. Ketika air mulai terus naik, monyet bilang sama polip, "Sepupu, lepaskan aku!" Tapi, polip bilang, "Tidak saya akan menahan kamu sampai kamu mati." Air pasang semakin tinggi, monyet tidak tahan lagi, air terus naik sampai akhirnya si monyet mati. Ini merupakan salah satu dari beberapa cerita tentang monyet atau kera dalam bahasa Biak. 

Kesimpulan sementara bahwa kata ataung ungkapan "ruk" merupakan serapan dalam bahasa Melayu, yang telah digunakan suku Biak sejak lama, karena berbagai pelayaran mereka di masa lalu. Merujuk pada "Mios Ruti" atau pulau Bacan bisa menjadi dasar bahwa pengetahuan mereka tentang monyet di dapat setelah melakukan pelayaran ke berbagai wilayah di luar Papua. Sedangkan nama Dion, merupakan nama baru yang diserap oleh oleh seorang Kapten Kapal yang bernama Jhoni yang kemudian dilafalkan menjadi Dion. Nama cuma digunakan oleh orang-orang berbahasa Biak Numfor di teluk Doreri. Sedangkan orang di pulau Biak dan Supiori tidak mengenal nama ini. Mereka lebih mengenal nama "Ruk".  

Post a Comment for "“RUK” SEBUTAN BAHASA BIAK UNTUK MENYEBUT KERA"