PELAYARAN DAN ASTRONOMI ORANG WAROPEN DI MASA LALU - Manfasramdi
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PELAYARAN DAN ASTRONOMI ORANG WAROPEN DI MASA LALU

orang Waropen

Bentuk perahu orang suku Kay Waropen dari salah satu kampung di Waropen.
Sekitar tahun 1930-an. Sumber foto: buku  Dr. Held, 1947. 

PERAHU SEBAGAI ALAT PENUNJANG KEHIDUPAN

Kehidupan masa lalu orang Waropen (Ambumi, Kai, Ronari), sangat erat kaitannya dengan sebuah perahu. Perahu adalah sarana transportasi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Waropen, jika di ibaratkan itu seperti jantung demi keberlangsungan hidup, perahu bahkan ada dalam kehidupan ritual adat orang Waropen. Perahu bukan saja sebagai alat penunjang untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, tetapi perahu bahkan lebih dari itu, perahu ini digunakan sebagai alat pembayaran mahar (mas kawin) serta memiliki fungsi dan nilai adat tersendiri. 

Tidak saja penduduk pesisir Papua lainnya seperti orang Yapen, Orang Biak, Wandamen, Fakfak, Raja Ampat yang mana dikenal sebagai pelaut-pelaut pengarung samudera di masa lalu. Orang Waropen Pesisir, merupakan golongan penduduk pantai yang persebarannya luas. Salah satu kelompok suku yang terkenal di masa lalu misalnya seperti suku Waropen Kai. Pelayaran orang Waropen Kai di waktu lampau tidak terlepas dari teknologi pembuatan perahu bercadik yang mana di rancang untuk bisa menembus lautan yang bergelora. Orang Waropen pesisir telah lama berhubungan juga dengan penduduk pedalaman Waropen. Mereka ini telah melakukan barter demi kelangsungan hidup satu sama lain. Baik di antara sesama orang Waropen sendiri dan juga melakukan kontak dagang dengan orang-orang dari berbagai wilayah tanah Papua misalnya dengan orang Biak dan Yapen serta pedagang-pedagang dari Maluku, Sulawesi, China, dan Eropa.   

Pada tahun 1700-1800-an, penjelajah-penjelajah orang Eropa sudah mengenal suku Waropen. Bisa terlihat dalam banyak laporan mereka, orang-orang Waropen pesisir ini disebutkan. Catatan-catatan para penulis abad ke-19, seperti Rosenbert, Fabritius, Beccari, Van Der Crab, De Clerq sering menyebut tentang suku ini. Dalam catatannya Van Der Crab misalnya dia menulis tentang orang "Waropen-Kei". 

Setiap kampung-kampung dan keret, seperti kampung Sasora, Wonti, Risei, Nubuai dan kampung-kampung lainya memiliki perahu besar yang di gunakan untuk berdagang (barter), serta digunakan juga dalam pertempuran ataupun mencari budak. Pelayaran-pelayaran mereka tidak hanya di wilayah mereka tetapi mencakup wilayah pesisir tanah Papua. Dalam nyanyian-nyanyian adat (munaba), mereka sering menyebutkan perjalanan pelayaran mereka ke berbagai tempat. Berkat pelayaran mereka dan hubungan-hubungan dengan dunia luar membuat mereka terlibat dalam proses perubahan dari masa ke masa. Dari berbagai aspek sosial, kultur, seni, bahasa, banyak hal yang perlu di gali dan di pelajari dari orang Waropen. Dan lebih khususnya lagi tentang pelayaran mereka, teknologi kuno serta peradaban mereka. 

Sehubungan dengan perahu, sudah ada catatan tertulis dari para pengamat pada tahun 1800-an. Milsanya, De Clerq memberikan informasi mengenai perahu orang Waropen Kai, dia menyebut bahwa perahu mereka sangat kokoh, disungai Kai misalnya, orang menggunakan batang sagu sebagai perahu, dia menulis:

"Hun prauwen zijn zeer stevig, zelfs de grootere (behalve de tababéri of oorlogsprauwen) met één vlerk, om zich gemakkelijker in de door overhangende takken versperde rivieren te bewegen; de dwarsplanken, die tot zitplaats dienen, liggen los op den bovenrand en evenzoo het uitgehold stuk hout, dat tot vuurhaard strekt. Op de Kai-rivier bewegen velen zich in uitgeholde sagoeboomstammen, aan de open zijde met klei toegestopt. Het bewerken van hout bepaalt zich voorts tot de vervaardi ging van ronde bakken, die niet zoo diep zijn als die van Ansoes en van kleine versieringen in den vorm van menschenkopjes, uitgesneden aan den steel der pagaaien". (F. S. A. De Clerq, 1893:865)

Lingkungan geografi mengharuskan mereka untuk menciptakan perahu sesuai sesuai lingkungan tempat tinggal mereka.  Perahu di desain sesuai kebutuhan dan fungsi. Secara umum jenis-jenis perahu orang Waropen terdiri dari tiga bentuk, yaitu : (1) Sandua, (2) Soado, dan (3) Gha. Ketiga perahu ini memiliki fungsi dan nilai historis di dalamnya.

1. SANDUA : perahu ini terbuat dari sebuah batang pohon sagu dan tidak bercadik, atau tidak menggunakan semang. Alat transportasi lintas air ini, fungsinya sangat besar, digunakan untuk menyusuri aliran-aliran sungai berawa, menyusuri sungai yang berkelok-kelok, mencari bahan makanan. Perahu ini juga digunakan dalam penguburan mayat. Karena bentuknya yang seperti peti. Rupanya, orang Biak pun, mengenal jenis perahu dengan sebutan yang mirip yaitu SANDURA. Dalam kehidupan orang Biak, Sandura ini juga digunakan untuk menaruh orang yang telah meninggal. Selain Sandura juga disebut Abai. Walaupun Sandua merupakan alat transportasi air, namun hanya digunakan dalam lingkup wilayah yang kecil khususnya untuk menyusuri sungai-sungai berawa. Dan perahu ini juga tidak bisa digunakan untuk pelayaran jarak jauh.

2. SOADO : Perahu ini tidak bercadik biasanya terbuat dari berbagai jenis kayu perahu yang dipilih oleh pembuat perahu. Kayu-kayu berkualitas terbaik dalam pembuatan perahu juga banyak terdapat di hutan Waropen. Dan para pengrajin perahu di masa lalu secara turun temurun mengetahui jenis kayu-kayu yang digunakan dalam pembuatan perahu.  Dan tentunya para pengrajin perahu mempelajari itu dari leluhur mereka, ilmu itu diturunkan dari gernasi ke generasi.

3. GHA atau disebut juga GHA SOMANDU:  ini adalah jenis perahu bercadik yang biasa digunakan untuk melakukan perjalanan antara pulau atau perjalanan samudera jarak jauh. Perahu ini disebut juga Waidoninsi (ura). Perahu Waidoninsi inilah yang biasanya orang Waropen gunakan dalam pelayaran jarak jauh di sekitar wilayah Papua hingga ke luar Papua misalnya Tidore, Ternate, dan berbagai tempat lainnya pada sekitar abad ke-16 sampai abad ke-19.  Wilayah Biak-Numfor mengenalnya dengan sebutan perahu Wairon, sedangkan orang Doreri Numfor mengenalnya dengan sebutan Tababeri. Bentuk dan jenis perahu orang Biak Numfor dan Waropen bentuknya sama berbeda pada sebutan-sebutan nama-nama bahasa daerahnya.

Papoesche Rovers atau Bajak Laut Papua Waropen dimasa lalu telah melakukan berbagai perompakan. Dr. F. C. Kamma, menulis bahwa orang-orang seperti orang Windesi, Yapen, Waropen, Biak, Numfor, “Mereka ini dapat memperlengkapi armada-armada perang yang besar, dan seperti halnya orang Viking di Eropa Barat Laut dulu, di mana-mana mereka melakukan penjarahan.” (Kamma, 1993:435) 

Bajak Laut Waropen ini, terorganisir dengan baik, sehingga dengan pasukan yang besar mereka bisa melakukan pelayaran perompakan untuk mencari budak demi kepentingan kampung dan keret.

ILMU PERBINTANGAN & ASTRONOMI

Mereka juga di dukung dengan pengetahuan Astronomi tradisional orang Waropen sehingga membantu mereka dalam melakukan pelayaran jarak jauh, seperti ilmu membaca bintang, arus, angin, dan musim. Penggunaan ilmu Astronomi membaca bintang sering di lakukan dalam perjalanan berbulan-bulan di laut seperti menggunakan bintang Ombabai, Wawiniki, Kawoata dan Monafu yang di kenal sebagai bintang Orion. Juga perahu Gha Somandu, yang berukuran besar biasanya dilengkapi dua layar, yaitu layar bagian depan dan layar bagian belakang. Layar bagian depan di sebut Mana Raro yang berarti layar laki-laki dan layar bagian belakang Bini Rararo yang berarti layar perempuan.

Penjelasan menarik tentang perahu orang Waropen di jelaskan secara detail oleh Dr. G. J. Held dalam bukunya Papoeas's Van Waropen. Pelayaran-pelayaran orang Waropen, pada zaman lalu membuktikan bahwa orang Waropen Kai sebagai salah satu suku yang menunjukkan eksistensinya di masa lalu. Dan masih tetap mempertahankan identitasnya sebagai suku bangsa Waropen. 

Post a Comment for "PELAYARAN DAN ASTRONOMI ORANG WAROPEN DI MASA LALU "